Blogger Template by Blogcrowds.

Danau Sembuluh Contoh Kerusakan Ekosistem

Senin, 10 Mei 2010

Aktivis lingkungan hidup SOB dan Walhi meyakinkan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Seruyan telah merusak ekosistem di Danau Sembuluh, Kecamatan Telaga Pulang.

Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) Nordin menyayangkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Seruyan membiarkan praktik pengrusakan di Danau Sembuluh tanpa mempedulikan kelangsungan lingkungan dan kehidupan warga sekitar.

Dalam pantauan SOB dari udara, 16 April lalu, jelas terlihat hamparan areal perkebunan kelapa sawit milik PT Hamparan Mas Sawit Bangun Persada (PT HMBP) telah menjorok ke dalam buffer zone (daerah penyangga) danau itu.

Sesuai ketentuan, menurut Nordin, perusahaan perkebunan kelapa sawit semestinya tidak boleh melakukan penanaman masuk jauh ke tepian danau. “Seharusnya, daerah penyangga minimal 500m dari bibir danau tidak boleh ditanami. Tapi, kenyataannya itu yang dilanggar,” kata Nordin kepada Tabengan, Senin (10/5).

Nordin menduga, perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut juga belum mengantongi izin analisis dampak lingkungan (Amdal). Kalaupun ada, itu pasti diterbitkan oleh Komisi Amdal yang kapasitasnya meragukan.

Berdasarkan data SOB, dari 1,6 juta hektar luas lahan di Kabupaten Seruyan, 598.000ha di antaranya telah berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini sangat ironis karena melahirkan kesenjangan antara investasi perkebunan dan kesejahteraan warga sekitar.

Dia mencontohkan, hidup masyarakat Danau Sembuluh pada kisaran tahun 1995-2000 sangat bergantung pada alam sekitar dengan kegiatan berladang dan menekuni industri kecil pembuatan perahu.

Ketika itu, warga bisa tenang menghidupi keluarganya dengan stok beras hasil pertanian sangat cukup. Setelah penjarahan lahan sampai ke Danau Sembuluh dengan perkebunan sawit, warga ahirnya kehilangan kesempatan bercocok tanam maupun mengembangkan industri kecil tersebut.

Gambaran tentang keprihatinan di Danau Sembuluh itu, juga dipertegas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng. Nasib Danau Sembuluh digambarkan semakin terancam. Hampir semua kawasan danau tersebut sudah dikelilingi pohon-pohon sawit, milik perusahaan delapan perkebunan besar.

“Celakanya, perusahaan sama sekali tidak mengindahkan aspek ekologis dengan menanam batang-batang sawit hingga ke bibir danau,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas kepada Tabengan.

Danau Sembuluh dulunya merupakan lumbung kehidupan masyarakat di lima desa. Di danau itu mereka mendapatkan ikan. “Sekarang, ikan-ikan di sana sudah terkuras drastis,” kata Rio, panggilan akrab Arie Rompas. “Karena itulah, program keramba yang digalakkan Pemkab Seruyan di danau itu gagal total.”

Rio juga mencatat, di Sungai Rungau yang mengairi Danau Sembuluh telah terjadi pencemaran limbah sawit dari salah satu perusahaan di sana. Ini menunjukkan ketidakpekaan Pemkab Seruyan dalam mengeluarkan izin kepada PBS-PBS. Semua zin perusahaan tersebut dikeluarkan oleh Bupati Seruyan.

Dari data Walhi Kalteng, delapan perusahaan yang operasional di seputar Danau Sembuluh adalah PT Rungau Alam Subur, PT Bina Sawit Abadi Pratama, PT Salonok LadangMas, PT Salawati Makmur, PT Rimba Harapan Sakti, PT Mustika Sembuluh, PT Agro Indomas, dan PT Kery Sawit Indonesia.

Wardian, tokoh masyarakat Danau Sembuluh yang dihubungi Tabengan, mengatakan, kehidupan masyarakat Sembuluh dari dulu tergantung dari hutan, sungai, dan danau. “Hutan menyediakan kayu-kayu untuk bangunan rumah maupun bahan baku pembuatan perahu dan kayu bakar. Di samping itu juga sebagai pelindung sepadan danau dan sungai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat,” kata Wardian.

Selain hasil hutan, katanya, warga di sana juga berkebun karet, buah-buahan, salak, dan sebagainya. Hasilnya bisa untuk menghidupi keluarga dan sekolah anak-anak mereka.

“Sejak dulu nenek moyang kami ahli membuat perahu, dan sudah terkenal ke mana-mana. Bahannya berupa kayu ulin atau blangiran yang kami dapat dari alam di sekitar ini. Dari membuat perahu kami mampu bertahan hidup, bahkan ada yang berkali-kali naik haji,” kata Wardian.

Lebih lanjut Wardian mengatakan, dari danau mereka mendapatkan berbagai jenis ikan untuk memenuhi kehidupan dan menjualnya keluar daerah. “Kini, kebun-kebun kami itu dibabat habis untuk perkebunan sawit. Hanya tersisa tonggaknya. Ada pohon besar yang tersisa tidak bisa ditebang oleh perusahaan sawit, tapi itu pun berada dalam konsesi mereka,” keluhnya.

Kini, Danau Sembuluh mengalami pendangkalan dan kekeruhan yang menyebabkan kehidupan air danau menjadi terganggu. Ikan-ikan sangat berkurang. “Padahal, kami menghidupi keluarga dengan mencari ikan juga,” kata Wardian.

Dukung Kejati

Presiden Lumbung Informasi Rakyat Indonesia (LIRA) Kabupaten Seruyan Maryanto saat dihubungi dari Palangka Raya menyatakan, pihaknya mendukung Kejaksaan Tinggi Kalteng menelisik kasus pelanggaran penggunaan kawasan hutan di Kabupaten Seruyan yang melibatkan Bupati Darwan Ali.

Menurut Maryanto, kasus itu sebenarnya sudah lama terjadi, pihaknya bahkan sudah tiga kali melaporkannya, tidak saja kepada pihak Kejaksaan Tinggi, tapi ke lembaga hukum yang lebih tinggi, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, dan KPK medio 2007 hingga 2008 lalu, namun semuanya masih kabur.

“Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiga kali datang ke Seruyan untuk memeriksa kasus ini, namun sampai saat ini belum ada reaksi,” ujar Maryanto.

LIRA berpandangan, kasus pelanggaran penggunaan kawasan hutan di Seruyan memang menyalahi aturan. Data LIRA, di Seruyan saat ini terdapat 57 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hampir semuanya tidak mengantongi izin pelepasan kawasan (IPK) dari Menteri Kehutanan. Mereka beroperasi di dalam kawasan hutan produksi (HP).

“Selain tidak mengantongi IPK, perusahaan perkebunan itu juga tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang diatur dalam peraturan Menteri Pertanian No.26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan,” kata Maryanto.

Maryanto menggambarkan, dari luas kawasan HP di Seruyan sekitar 500 ribu hektar, 300 ribu hektar di antaranya telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. (anr/str/akm)

Aroma Korupsi Hutan di Seruyan - Sejumlah Perusahaan Dimiliki Keluarga Bupati


Carut marut pengelolaan hutan bagi investasi tambang dan perkebunan hampir terjadi di seluruh daerah di Kalteng. Namun, masing-masing kabupaten memiliki karakteristik dan kadar pelanggaran.

Pelanggaran penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan paling mencolok terjadi di Kabupaten Barito Utara (Barut). Sementara Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan Seruyan kencang menggunakan kawasan hutan bagi kegiatan perkebunan.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas kepada Tabengan, Jumat (7/5), menyebutkan, Kabupaten Seruyan hingga tahun 2008 telah mengeluarkan izin seluas 598.815ha dari 43 izin perkebunan besar swasta (PBS).

Dari jumlah tersebut, yang sudah melakukan aktivitas perkebunan (opersional) hanya 17 PBS dengan luas 205.602ha dan yang sudah memperoleh izin pelepasan kawasan hutan baru tujuh PBS dengan luas 91.991ha. Sisanya belum memperoleh izin pelepasan kawasan hutan dari Menhut, tetapi sudah melakukan aktivitas, melanggar UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup.

Menurut Rio, sapaan Arie Rompas, dugaan pelangaran itu terjadi sejak Februari 2004 hingga akhir 2005 dengan adanya upaya memberikan izin perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas seluas 346.188ha atau 274.188ha berada dalam kawasan hutan produksi, 72.000ha dalam kawasan hutan produksi terbatas.

Izin itu dikeluarkan kepada 23 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan diduga 16 di antaranya merupakan milik keluarga dan kroni Bupati Seruyan Darwan Ali.

Selain itu, Darwan juga diduga telah memberikan izin kepada tiga perkebunan kelapa sawit masuk ke dalam kawasan hutan produksi (HP) yang sebagian wilayahnya masuk dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) berdasarkan surat BPKH Wilayah V Kalsel dan diperkuat surat Menhut MS Ka’ban yang kemudian meminta kepada Bupati Seruyan agar mencabut izin lokasi Kharisma Unggul Centralmata Cemerlang (KUCC).

Anehnya, hanya sekitar dua minggu berselang, Menhut justru menyatakan lokasi tersebut masuk di kawasan hutan produksi yang kemudian mengeluarkan izin pelepasan untuk KUCC. Padahal, kawasan TNTP itu belum diubah sebagai kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK). Perubahan sikap Menhut ini menunjukkan indikasi adanya permainan untuk mendapatkan keuntungan.

Tindakan itu, kata Rio, dikategorikan menyalahi kewenangan dan memperkaya diri sendiri atau keluarga. Melanggar Surat Menteri Kehutanan No. S.590/Menhut‐VII/2005 tanggal 10 Oktober 2005 tentang kegiatan usaha perkebunan serta Surat Menteri Kehutanan No. S.255/Menhut‐II/07 tanggal 13 April 2007 tentang pemanfaatan Areal Kawasan Hutan.

Dalam surat itu, Menhut menyatakan agar Bupati Seruyan tidak memberikan izin kepada 23 perusahaan perkebunan tersebut untuk melakukan aktivitas di lapangan sebelum ada Keputusan Menhut yang didasarkan atas penelitian terpadu dan tidak melakukan proses pengukuran kadastral/perolehan hak atas tanah (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebelum ada SK pelepasan dari Menteri Kehutanan, akibat dari penerbitan SK.

Bupati Seruyan setidak-tidaknya telah menimbulkan kerugian bagi Negara dalam bentuk hilangnya potensi penghasilan negara atau daerah dari hasil hutan, merusak ekosistem dan lingkungan, merugikan negara karena negara harus melakukan reboisasi dan penghijauan hutan. Atas fakta ini, Walhi menduga Darwan Ali telah menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat merugikan keuangan Negara.

Senada dengan Arie, Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) Nordin menduga Darwan Ali melakukan tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri atau kerabat ataupun orang lain dalam kasus pemberian izin perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan di Seruyan.

Bahkan Nordin menyebutkan, untuk satu izin perusahaan kelapa sawit yang dimiliki keluarga dan kroni Darwan Ali dijual ke pengusaha asal Malaysia dengan nilai mencapai Rp300 miliar hingga Rp500 miliar.

Nordin menyebutkan data yang sama, dari 23 perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut, 16 perusahaan di antaranya milik keluarga Darwan Ali. Contohnya, PT GBSM di Desa Empa, Tanjung Baru, Jahitan dan Muara Dua, Kecamatan Seruyan Hilir, Seruyan, izin lokasinya berdasarkan SK Bupati No. 147 Tahun 2004 menyebutkan alamat perusahaan itu di Jalan Tidar I No 1, Sampit, yang merupakan rumah anak dari Darwan Ali di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur.

Kemudian, PT Eka Kaharap Itah, Direktur Utamanya--sampai tahun 2003, sebelum dilantik menjadi Bupati adalah Darwan Ali sendiri--, PT Papadaan Uluh Itah, Komisaris Utamanya--sampai tahun 2003, sebelum dilantik sebagai Bupati Seruyan adalah Darwan--, PT Pukun Mandiri Lestari, direkturnya Sudjarwanto (orang kepercayaan/bawahan Darwan Ali).

Selain itu, PT Bulau Sawit Bajenta, direkturnya Khaeruddin Hamdat (biasa dipanggil Daeang) adalah ajudan pribadi Darwan Ali, PT Alam Sawit Permai, pimpinannya H Banda (anak dari kakak kandung Darwan Ali), PT Banua Alam Subur, direkturnya H Darlen (kakak kandung Darwan Ali).

Hubungan Dengan Wilmar

Nordin memaparkan, Wilmar International Limited adalah perusahaan raksasa yang salah satu usahanya bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Di Kalteng, sejarah Wilmar sesungguhnya masih dapat dikatakan baru, kalau dilihat dari kepemilikan Wilmar secara langsung dalam penguasaan perkebunan kelapa sawit, sejak Wilmar mengambil alih keseluruhan kebun-kebun kelapa sawit milik PPB Oilpalm Bhd-Malaysia.

Perjalanan buruk perkebunan kelapa sawit Wilmar tidak bisa dipisahkan dari kerja-kerja awal yang dilakukan oleh PPB Oilpalm Bhd, karena pemindahtanganan dari PPB Oilpalm Bhd kepada Wilmar International Limited merupakan merger dan penggabungan modal saja. PPB Oilpalm Bhd sebelum merger dengan Wilmar telah memiliki 18 unit PBS di Kabupaten Seruyan dan Kotim dengan luas sekitar 288 ribu hektar

Nordin mengatakan, sebanyak 20 dari 50 izin perusahaan kelapa sawit yang telah dikeluarkan Pemkab Seruyan, hingga saat ini belum operasional karena terkendala izin pelepasan kawasan oleh Menhut yang belum keluar. Luas areal 50 izin perusahaan kelapa sawit tersebut diperkirakan mencapai 800 ribu hektar, sedangkan 30 perusahaan mencapai 250 ribu hektar. (str/anr)

Kejati Turunkan Tim ke Seruyan



Kasus pelanggaran penggunaan kawasan hutan di Kabupaten Seruyan sudah dicium Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalteng pun membentuk tim untuk diterjunkan ke daerah kekuasaan Darwan Ali ini, seusai Pemilu Kada.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Kalteng Ponco Santoso SH menyatakan sudah menerima laporan tentang pelanggaran penggunaan kawasan hutan di Seruyan. Untuk itu akan diturunkan tim selepas Pemilu Kada.

Seperti diberitakan Tabengan, edisi Sabtu (8/5), data Walhi Kalteng menyebutkan, hingga 2008, Kabupaten Seruyan telah mengeluarkan 43 izin perkebunan besar swasta (PBS) seluas 598.815ha.

Dari jumlah itu, PBS yang sudah melakukan aktivitas (opersional) hanya 17 dengan luas 205.602ha. Tujuh di antaranya, dengan luas 91.991ha, sudah memperoleh izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan. Sedangkan sisanya, kendati belum memperoleh izin, ternyata sudah operasional.

Menurut Ponco, Kejati pernah mengadakan rapat gabungan dengan Dinas Kehutanan untuk menginventarisasi PBS mana saja yang belum memiliki izin dari Menhut. “Kita sudah melakukan pendataan. Laporannya, selain ke Kejagung juga sudah masuk ke KPK,” jelas Ponco kepada Tabengan, Minggu (9/5).

Kejati Kalteng mengharapkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Seruyan yang baru dilantik memberikan data dan informasi yang tentang izin perkebunan kelapa sawit di dalam hutan kawasan produksi oleh Bupati Seruyan setempat.

Untuk meyakinkan keseriusan menangani kasus itu, Ponco menegaskan, dalam empat bulan terakhir Kejati Kalteng menduduki ranking satu se-Indonesia dalam mengungkap kasus korupsi (17 kasus).

Sementara Kapolda Kalteng Brigjen Pol H Damianus Jackie menjanjikan tidak akan menolerir anggotanya yang terbukti terlibat dalam pembiaran kasus illegal logging, illegal minning, termasuk perkebunan ilegal di wilayah hukumnya.

“Kita sudah tegaskan, jajaran Polri tidak akan tutup mata untuk bertindak tegas terhadap siapa saja terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam bentuk kejahatan apapun. Kami mengimbau masyarakat segera melaporkan bila ada keterkaitan oknum anggota dalam pelanggaran tersebut,” kata Damianus ketika dihubungi Tabengan via telepon.

Menurutnya, Polda Kalteng sudah menurunkan tim khusus untuk menyelidiki masalah illegal logging, illegal mining, dan perkebunan ilegal yang diduga beroperasi di beberapa kabupaten di Kalteng. Tim ini telah berkoordinasi dengan polres-polres di daerah.

“Saat ini Polda Kalteng tengah memproses empat perusahaan perkebunan dan enam perusahaan tambang di Kalteng. Dan, tidak menutup kemungkinan perusahaan yang melanggar aturan akan bertambah untuk diproses secara hukum oleh polisi,” jelas mantan Waka Polda Kalsel ini.

Asal Ngomong

Bupati Seruyan Darwan Ali menilai Walhi Kalteng asal ngomong dalam memberikan pernyataan di media massa terkait dugaan pemberian izin perkebunan kelapa sawit di Seruyan.

Hal itu disampaikan Darwan usai menghadiri peringatan Bulan Bhakti Gotong Royong ke VII, Hari Keluarga Nasional ke XVII, dan Program Mamangun Tuntang Mahaga Lewu III di Desa Asam Baru, Kecamatan Danau Seluluk, Kabupaten Seruyan, Sabtu (8/5).

Darwan menegaskan, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas yang menyebut dirinya diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan modus memperkaya diri sendiri atau kerabat ataupun orang lain dalam kasus pemberian izin perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan di Seruyan, tidak benar.

Darwan mengatakan, sah-sah saja izin perkebunan kelapa sawit PT GBSM di Desa Empa, Tanjung Baru, Jahitan dan Muara Dua, Kecamatan Seruyan Hilir, Kabupaten Seruyan beralamat di Jalan Tidar I No. 1, Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur yang merupakan rumah anaknya.

Demikian juga tentang izin, Darwan Ali menyatakan akan menerbitkannya sepanjang perusahaan yang mengajukan izin perkebunan kelapa sawit melengkapi syarat-syarat administrasi yang berlaku dalam undang-undang, “Kalau benar saya berikan, apakah itu salah. Saya pikir tidak ada larangan. Terpenting tidak melakukan korupsi, kecuali jika diberikan secara pribadi,” kata Darwan

Menurut Darwan, tudingan yang dilontarkan Walhi tidak disertai bukti-bukti akurat yang dapat dipertanggungjawabkan dan sumbernya juga tidak jelas. “Makanya, Walhi tidak pernah bicara ke saya dan hanya ngomong doang, sumbernya hanya ujar-ujar (katanya-katanya),” kata Darwan.

Meski demikian, Darwan tidak memungkiri jika selama menjabat sebagai Bupati Seruyan pada periode 2004-2009 dia telah mengeluarkan sejumlah izin perkebunan kelapa sawit. Sebab, sebagai Bupati, dia memiliki kewenangan memberikan izin kepada perusahaan yang mengajukan permohonan. Tapi itu, sebatas izin prinsip.

Kecuali jika lahan perkebunan kelapa sawit itu berada di kawasan hutan produksi, Bupati harus merekomendasikan perusahaan itu kepada Gubernur, kemudian mengajukan izin pelepasan kawasan kepada Menteri Kehutanan (Menhut).

“Tapi, yang menentukan apakah perusahaan itu akan mendapat surat rekomendasi kepada Menhut adalah kewenangan penuh Pak Gubernur. Dan, selama izin pelepasan kawasan belum keluar tidak boleh beroperasi,” kata Darwan. (anr/gie/dka)

Keberhasilan Pembangunan Kalteng Milik Rakyat


Jika lima tahun lalu perjalanan jalur darat dari Palangka Raya-Asam Baru, Kabupaten Seruyan, sepanjang 345km memerlukan waktu sembilan jam, sekarang hanya 4,5 jam. Rombongan Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran, Sabtu (8/5), membuktikannya.

Rombongan Wagub yang menghadiri peringatan Bulan Bhakti Gotong Royong VII, Hari Keluarga Nasional XVII, dan Program Mamangun Tuntang Mahaga Lewu III di Desa Asam Baru, Kecamatan Danau Seluluk, Kabupaten Seruyan, Sabtu (8/5), bertolak dari Palangka Raya pukul 05.30 WIB bersama sejumlah pejabat dan wartawan. Perjalanan yang diikuti belasan mobil itu tiba di Desa Asam Baru pukul 10.00 WIB.

Diran menyampaikan hal itu di depan ribuan warga Kabupaten Seruyan yang didominasi pekerja sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Danau Seluluk dan sekitarnya. Dipaparkan, kondisi pembangunan infrastruktur jalur trans Kalimantan poros selatan sepenjang 820km dari batas Kalsel hingga batas Kalbar selama kepemimpinan Teras-Diran tidak membeda-bedakan dan hanya mempertimbangkan satu tujuan, untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Kalteng.

Dicontohkan, perkembangan pembangunan jalan Palangka Raya-Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, yang sebelumnya ditempuh dengan waktu minimal 12 jam sekarang mampu dilalui hanya tujuh jam. Demikian pula dengan jalur lainnya, Palangka Raya-Buntok, Kabupaten Barito Selatan, sepanjang 199km sekarang bisa dilewati tiga jam, jauh sebelum ada peningkatan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang harus memutar arah melalui Banjarmasin, Kalsel. “Buktinya, selisih harga karet antara Desa Timpah, Kabupaten Kapuas, dan Palangka Raya hanya seribu rupiah. Semua itu karena pembangunan telah mampu mendukung perekonomian,” kata Diran disambut tepuk tangan meriah ribuan warga.

Selain itu, peningkatan sarana infrastruktur juga dilakukan di Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya yang melayani rute Palangka Raya-Jakarta, Palangka Raya-Surabaya, dan Palangka Raya ke sejumlah bandara perintis di Kalteng. Maskapai penerbangan sekarang ada Garuda Indonesia, Sriwijaya Air, Batavia Air, Lin Air, dan Kalstar.

Bukti keberhasilan pembangunan Kalteng yang lain, provinsi ini mampu menekan angka kemiskinan dari 10,73 persen di tahun 2005 menjadi 7,02 persen pada 2009. Kondisi ini, menurut Diran, membuat jaringan perbankan jumlahnya turut meningkat seiring peningkatan ekonomi warga di Kalteng.

“Saat ini sudah ada 23 jaringan layanan perbankan di Kalteng dan tahun 2010 akan ada penambahan 14 jaringan, sehingga menjadi 37. Termasuk akan dibuka di Desa Sebabi dan Kecamatan Kotawaringin Lama,” jelas Diran.

Dalam kesempatan itu, Diran mengharapkan warga Kalteng, khususnya di Kabupaten Seruyan tidah mudah tergiur dengan tawaran perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun oknum tertentu untuk menjual tanah miliknya.

Sebaliknya, Diran menyarankan warga untuk menjadi mitra perusahaan perkebunan kelapa sawit melalui plasma. Dengan keikutsertaan warga dalam program plasma perusahaan hasilnya akan bisa dinikmati secara turun temurun dan berbeda jika dijual ke perusahaan meski harga tinggi sekalipun, hal itu hanya bisa dinikmati sesaat.

Kehadiran Diran juga tak disia-diakan warga, dalam sesi dialog, Ida, warga Desa Tanjung Hara, Kecamatan Danau Seluluk meminta Pemprov maupun Pemkab Seruyan menghapuskan sistem buruh harian lepas (BHL) yang dinilai merugikan nasib warga karena jika perusahaan kelapa sawit tidak membutuhkan tenaga mereka, akan dilakukan pemutusan kerja secara sepihak.

Menjawab pertanyaan warga, Diran dan Bupati Seruyan Darwan Ali mendaulat pimpinan perusahaan perkebunan kepala sawit yang hadir untuk menjawab langsung keluhan warga. Jika PT Bina Sawit bersedia tidak melakukan pemutusan kerja dengan warga, PT Musirawas dan PT Agro Indomas justru mengaku keberatan dengan itu. Alasannya, kadang warga tidak konsisten dengan pekerjaannya dan meninggalkan jika masuk musim berladang.

Dalam peringatan itu, Diran juga menyerahkan bantuan kepada warga Kabupaten Seruyan berupa bibit pohon, perlengkapan olahraga, sekolah, pupuk, dan sejumlah peralatan pengembangan pertanian. (anr)

Bos Sawit Serobot Lahan Transmigran

Kamis, 22 April 2010

PALANGKARAYA, KOMPAS.com - Bos perkebunan sawit PT Bangun Jaya Alam Permai (BJAP) diduga menyerobot lahan warga transmigran di Desa Panca Jaya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

"Lahan warga transmigrasi yang diserobot pada areal lahan usaha (LU) 2," kata Koordinator Warga Desa Panca Jaya, Kabupaten Seruyan, Darson Kamri di Palangkaraya, Rabu (21/4/2010).

Ia mengatakan, berdasarkan keputusan bersama tim yang turun ke lapangan pada Februari 2010 dipimpin oleh Kantet Sriwaluyo dari Pemkab Seruyan, terbukti bahwa lahan pada areal LU 2 yang kini ditanami kelapa sawit itu merupakan lahan untuk transmigran Desa Panca Jaya.

Untuk itulah, 28 warga desa tersebut mendatangi Pemrov Kalteng minta upaya penyelesaian sengketa lahan. Mereka menuntut pihak perusahaan mengembalikan lahan pada areal LU 2 dan membayar ganti rugi tanam tumbuh.

Ia mengatakan, lahan yang diserobot pihak perusahaan seluas 600 hektare merupakan lahan milik 300 keluarga yang masing-masing memiliki luas lahan dua hektare. "Kami sudah menjadi warga transmigran di wilayah itu sejak tahun 1999, sedangkan perusahaan masuk wilayah kami pada tahun 2003," katanya.

Akibatnya, warga transmigran tidak dapat mengelolanya menjadi lahan pertanian sehingga saat ini hanya mengelola lahan yang ada pada lahan pekarangan. Mereka sebagian berasal dari Nusa Tenggara Timur dan lokal.

Sebelum mengadu ke kantor gubernu dan Wakil Gubernur Achmad Diran, para transmigran mendatangi DPRD Kalteng namun tidak ada satu anggota dewan pun yang sudi menemui.

Kedatangan para transmigran ini juga mendapat perhatian dari Kepala Badan Satuan Polisi Pamong Praja Kalteng, Freddy S dengan memberikan nasi bungkus sebagai sarapan. Menurut Kepala Biro Protokol Pemprov Kalteng, Kardinal Tarung, pemprov akan memfasilitasi pertemuan antara perusahaan dengan warg sebelum Pilkada 2010.

Nyepi Bagi Kaharingan, Pengendalian Diri dan Pengekangan Indera

Senin, 19 April 2010

(MuaraTeweh): Hari raya Nyepi bagi umat hindu Kaharingan merupakan pengendalian diri dan usaha pengekangan indera tuk mencapai puncak keheningan jiwa. Dengan begitu, pikiran, perkataan dan perbuatan dapat dikendalikan agar tercermin perilaku santun, arip dan bijaksana.

Kemaren, Senin (20/4/2010) pagi, Hari Raya Nyepi dirayakan umat Hindu Kaharingan Kabupaten Barito Utara, Kalteng di balai Induk Basarah di Jalan Teluk Mayang, Muara Teweh.

Hadir pada perayaan itu di antaranya Direktur Urusan Agama Hindu Pusat, Ketut Lancar, Kementerian Agama Kalteng Oka Swastika dan Ketua Majelis Besar Daerah Palangkaraya yang juga Ketua STAHN, Ketut Subagiarta.

Acara itu juga di hadiri unsur Muspida Barut. "Saya atas nama segenap PNS dilingkungan Pemkab Barito Utara mengucapkan selamat Nyepi bagi umat Kaharingan. Semoga umat kaharingan makin meningkat kualitas mental dan spritualnya," ucap Wakil Bupati Barut Drs Oemar Zaki Hebanoedin, dalam kesempatan pidato pada acara itu.

Aktivis Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah Tolak Alihfungsi Hutan


Aktivis lingkungan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) yang tergabung dalam Save Our Boreno (SOB) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, menolak alihfungsi hutan setempat.

Karena itu, mereka mendesak Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan menolak permohonan izin pelepasan kawasan hutan maupun izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan sejumlah perusahaan perkebunan dan pertambangan setempat.

Koordinator SOB Nordin mengatakan, pembukaan hutan hanya akan memperparah kerusakan hutan di Kalteng, padahal upaya rehabilitasi sangat minim. Hal itu juga bertentangan dengan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bertekad terus menurunkan emisi.

Nordin juga bingung atas perubahan sikap Pemprov Kalteng yang belum lama ini memberikan rekomendasi pengajuan usulan izin itu ke Kementerian Kehutanan. Padahal, selama ini Gubernur Agustin Teras Narang selalu mengingatkan bupati/wali kota agar menunda pemberian izin, khususnya yang masuk kawasan hutan, hingga nanti Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng selesai.

”Kami minta Pemprov tetap konsisten mempertahankan hutan di Kalteng,” tandasnya.(*)

Rakor Jalan - Bupati Jangan Asal Terbitkan Izin

Minggu, 18 April 2010

Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang mengkritik kebijakan bupati/walikota di Kalteng yang terkesan asal-asalan dalam menerbitkan izin bagi perusahaan pertambangan untuk melintas di jalan-jalan umum.

Para bupati/walikota begitu mudah mengeluarkan izin kepada perusahaan pertambangan dan perkebunan besar tanpa memikirkan dampaknya.

“Selama kepemimpinan Teras-Diran, kami tidak pernah mengeluarkan izin, baik untuk pertambangan maupun perkebunan. Semua perizinan dikeluarkan bupati/walikota. Semestinya kalau memberikan perizinan, dipikirkan terlebih dahulu infrastrukturnya,” kata Teras dalam arahannya pada Rapat Koordinasi (Rakor) Penggunaan Jalan oleh Perusahaan Perkebunan dan Pertambangan, di Aula Jayang Tingang, Selasa (13/4).

Menurut Teras, struktur tanah di Kalteng labil dan masuk kategori kelas III. Jika dibangun jalan, kekuatan maksimalnya hanya untuk muatan delapan ton.

Namun, fakta di lapangan, hampir semua perusahaan pertambangan dan perkebunan mengangkut hasil produksinya melebihi kapasitas maksimal tonase jalan.

Teras mencontohkan ruas jalan Kandui-Muara Teweh, yang menurutnya pada 2005 hancurnya luar biasa, namun sekarang sudah diperbaiki dan cukup lumayan untuk dilalui. Tahun 2010 ini, provinsi sudah menganggarkan perbaikan untuk ruas jalan tersebut.

“Makanya, kemarin saya perintahkan jangan ada satu pun kendaraan perusahaan yang mengangkut batu bara melebihi tonase delapan ton lewat jalan tersebut,” kata Teras.

Jika kondisi ini dibiarkan, berapa pun uang yang dikucurkan untuk membangun dan memelihara jalan di Kalteng, tidak akan berarti apa-apa.

Mirisnya lagi, ada kecenderungan jalan tersebut seolah-olah milik truk perusahaan, sebab pengguna jalan lainnya harus menyingkir jika berpapasan.

Saat ini, Pemprov telah menginventarisir, setidaknya ada enam ruas jalan sering dilintasi perusahaan pertambangan dan perkebunan, di antaranya Pelantaran-Tumbang Sangai, Tumbang Kalang-Tumbang Sangai, Tumbang Sangai-Parenggean, Pundu-Tumbang Samba, Palangka Raya-Kurun, dan Kandui-Muara Teweh.

Teras mengatakan, rakor kali ini bertujuan untuk mengajak para pengusaha agar turut memikirkan langkah-langkah pemeliharaan jalan. “Provinsi dan kabupaten punya anggaran untuk pemeliharaan jalan, tapi tidak cukup kalau tidak dikeroyok bersama,” tegas Teras.

Pada kesempatan itu, Teras secara langsung juga memerintahkan para kepala dinas, badan, Sekdaprov bersama empat kabupaten yang hadir dan para pengusaha, segera mencari solusi bagaimana menjaga, memelihara, dan membangun jalan-jalan yang ada.

Teras memberi deadline minimal dalam satu minggu sudah ada hasil dan langkah-langkah konkret. Teras, bahkan berjanji akan mengecek terus dan langsung turun ke lapangan. Menurutnya, ada banyak solusi yang bisa dihasilkan, bahkan tidak menutup kemungkinan ada perusahaan yang bersedia membangun jalan sendiri.

Rakor diikuti para pengusaha pertambangan dan perkebunan, jajaran Pemkab Katingan yang dipimpin langsung Bupati Duwel Rawing, Wakil Bupati Barito Utara dan jajarannya, utusan Pemkab Gunung Mas, Pemkab Kotawaringin Timur, serta para Camat dan sebagian Kepala Desa dari keempat kabupaten tersebut.

Kecamatan Mendukung

Sementara itu, Camat Cempaga Hulu Wim RK Benung mengaku sangat mendukung arahan Gubernur agar melibatkan provinsi dan kabupaten serta perusahaan dalam proses pemeliharaan dan perbaikan jalan.

“Kami dukung apa yang diarahkan pak Gubernur agar melibatkan perusahaan dalam merawat dan memperbaiki jalan. Lebih bagus lagi kalau perusahaan sampai membuat jalan sendiri,” kata Wim.

Di Kecamatan Cempaga Hulu, saat ini telah beroperasi 11 perusahaan besar swasta (PBS) sawit, hampir semuanya sudah produksi dan melintasi ruas Jalan Pelantaran-Parenggean, Pundu-Tumbang Samba, juga ada yang melintasi Jalan Cjilik Riwut (Pundu-Pelantaran).

Menindaklanjuti hasil-hasil Rakor, Wim berjanji segera memanggil pihak perusahaan untuk melakukan pertemuan di tingkat kecamatan. Sebab, dalam rakor ini ada sebagian perusahaan tidak hadir.

“Hasil pertemuan dengan perusahaan, yang juga melibatkan tokoh masyarakat dan seluruh kepala desa, itu sebagai bahan rapat di tingkat kabupaten,” ujar Wim.

Selain itu, kebijakan Gubernur Kalteng untuk menertibkan dan menginventarisasi setiap perusahaan yang angkutan kendaraannya melewati jalan negara dan jalan provinsi, juga didukung aparat desa yang hadir.

Kepala Desa Cempaka Putih, Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotim Gaib Nugroho mengatakan, meski kedatangan investor ke daerah sangat menguntungkan, namun muatan kendaraan yang melebihi kapasitas merupakan salah satu penyebab utama kerusakan jalan negara maupun jalan provinsi.

Dia setuju pada paparan Gubernur bahwa meskipun kualitas bahan untuk pembangunan jalan provinsi maupun negara baik dan tinggi, namun akan tetap mengalami kerusakan bila setiap hari dan setiap jam dilewati puluhan kendaraan yang rata-rata mengangkut muatan hingga 10-15 ton.

“Saya mendukung apa yang diarahkan pak Gubernur. Berdasarkan pengalaman saya bertugas, memang betul banyak jalan rusak karena kendaraan mengangkut muatan berlebih,” katanya.

Gaib juga mengakui jika andil investor dalam pengembangan Kalteng, khususnya daerah Cempakga Hilir, sangat dibutuhkan. Namun di sisi lain, sebaiknya investor mau bekerja sama dengan pemerintah dalam pemeliharaan jalan provinsi ini.

“Saya sadar dan mengerti, dana pemerintah untuk pemeliharaan jalan sangat terbatas, sehingga kami sangat mengharapkan pengusaha bisa membuka hati dan mata. Ini bukan hanya jalan perusahaan, namun juga jalan untuk masyarakat umum,” tambah Gaib.

Siap Jaga Tonase

Sejumlah pengusaha perkebunan dan pertambangan merespon positif permintaan Gubernur Kalteng supaya turut memelihara jalan-jalan provinsi dan lintas kabupaten yang dilalui oleh truk-truk pengangkut batu bara dan kelapa sawit.

Mereka dapat menerima pengenaan denda apabila kendaraan pengangkut melebihi tonase, asalkan ada ketegasan dari pihak Pemda terhadap para pelanggar. Dena atau sanksi tegas, sesuai aturan yang berlaku.

Salah satu dari peserta rakor Erfan dari PT Bisma Dharma Kencana yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit di areal lintas poros Katingan-Kotim menerima dengan baik permintaan Gubernur sebagai sikap peduli terhadap peningkatan prasarana jalan di Kalteng.

“Tidak apa-apa. Apa yang diminta Gubernur itu kita bantu dan dukung. Jalan-jalan itu jelas kami lewati setiap waktu, meskipun sebenarnya pengangkutan kelapa sawit dan CPO sangat jauh di bawah delapan ton. Yang penting, pengawasannya,” katanya kepada Tabengan.

Pengawasan yang dimaksudkannya, harus ada petugas dari DLLAJR dan Dinas Perhubungan mengawasi penggunaan jalan. Bahkan, jika dimungkinkan, setiap hari dioperasikan jembatan timbang untuk membatasi tonase kendaraan pengangkut.

“Demikian juga terhadap setiap pelanggaran yang dijumpai di lapangan agar dikenakan sanksi tegas. Kalau bisa dikenakan denda untuk setiap tonase yang kelebihan, sehingga benar-benar memberi efek jera,” tegas Erfan.

Lebih jauh Erfan mengungkapkan, dirinya merasa puas dengan program pemerintahan Teras Narang-Achmad Diran yang sudah bersusah payah menuntaskan rencana pembangunan infrastruktur selama lima tahun ini.

“Ini merupakan pemenuhan janji beliau ketika dilantik lima tahun lampau. Kami puas dan sangat terbantu dengan perbaikan prasarana jalan sekarang ini.

Tapal Batas Kotim masih Sengketa

Jumat, 16 April 2010

(Sampit): Tapal batas Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dengan Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), ternyata hingga kini belum ada ketetapan bahkan terus disengketakan masing-masing pihak.

"Tapal batas Kotim dengan dua kabupaten tetangga masih belum jelas, sementara yang berwenang menetapkan tapal batas kabupaten adalah pemerintah provinsi," kata Bupati Kotim Wahyudi K Anwar di Sampit, kemarin.

Berdasarkan kesepakatan bersama, ujar Wahyudi, penetapan tata batas wilayah antara Kotim dengan Seruyan dan Katingan diserahkan sepenuhnya kepada Pemprov Kalteng.

Wahyudi mengatakan, sesuai berita acara rapat yang terakhir digelar 21 April 2009, masih terdapat ketidaksepakatan dengan kabupaten Seruyan. Kondisi ini mengakibatkan penetapan tapal batas ketiga kabupaten diserahkan kepada gubernur.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, penetapan tapal batas kabupaten diserahkan kepada pihak provinsi.

Sedangkan untuk tata batas kecamatan, desa/kelurahan di Kotim kurang lebih 65,7 persen sudah selesai dan telah ditetapkan. Pemkab Kotim berharap tapal batas wilayah antar kabupaten dapat segera diselesaikan, sehingga desa/kelurahan yang berada di wilayah tapal batas bisa mendapatkan pembangunan.

Wahyudi menambahkan, penyelesaiaan dan penetapan tapal batas yang wilayahnya sudah jelas masuk ke daerah Kotim akan segera diselesaikan, agar pembangunan dan pemerintahan masing-masing desa/kelurahan dapat berjalan dengan maksimal.(*)

Perusahaan 'Berjamaah' Langgar Amdal


(MuaraTeweh): Maraknya kegiatan penambangan batu bara di hutan Desa Lemo, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara, Kalteng, ternyata sama sekali belum membawa kebaikan bagi masyarakat sekitar lokasi tambang.


Sebaliknya kegiatan perusahaan tambang dinilai warga Desa Lemo justru berakibat fatal bagi kelestarian lingkungan desa setempat. Kondisi ini jadi tak ada timbal baliknya karena perusahaan, lebih memilih karyawan luar daerah dibanding memanfaatkan tenaga lokal.

Warga Lemo yakin, bertambahnya luasan kawasan yang rusak akan lebih cepat terjadi mengingat pengamatan mereka selama ini masih belum menemukan perusahaan tambang yang beritikad baik memperbaiki kerusakan lingkungan, meski hanya disekitar puluhan titik bekas galian mereka.

Terhadap bukti dan fakta dilapangan yang kini terjadi, warga kembali menuding bila kegiatan perusahaan tambang di hutan desa mereka melanggar dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Kepala Desa Lemo I Nuripansyah mengatakan, pelanggaran terhadap dokumen Amdal sangat signifikan di wilayah Lemo. “Kami tegaskan, semua perusahaan harus melaksanakan kegiatan sesuai dengan dokumen Amdal. Agar masyarakat tak dirugikan, karena lingkungan sekitarnya rusak,” katanya saat mengikuti sosialiasi Amdal salah satu perusahaan yang masuk ke Desa Lemo I, kemarin.

Menurut Nuripansyah, penyusunan dokumen Amdal seringkali tanpa melibatkan penjajakan dari bawah, khususnya menyangkut kepentingan masyarakat. Padahal Amdal bukan hanya menyangkut lingkungan, tapi juga di dalamnya mencakup aspek sosial dan ekonomi masyarakat. “Karena orang Dayak hidup mengandalkan lingkungan alam sekitarnya. Kalau itu (lingkungan) rusak, kehidupan mereka jadi terancam,” paparnya.

Banserudin warga Desa Lemo I membenarkan, banyak perusahaan tambang tak mampu menjaga sumber air di sekitar lokasi tambang. Perhatian untuk menjaga kelestarian sumber air bersih amat minim. Akibatnya sungai tercemar dan warga tak bisa lagi mengonsumsi air bersih.

Anggota BPD Lemo I Heri menegaskan, komitmen Amdal jangan hanya sebatas syarat supaya perusahaan tambang bisa melakukan eksploitasi. Tapi harus didasari niat baik dan tulus, sehingga berdampak positif kepada masyarakat, pihak perusahaan, dan pemerintah.

Ketika diminta komentarnya, Yanse Arifinando, seorang tenaga teknis Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Barut menyatakan, Amdal dinilai oleh komisi Amdal. Kepala desa dan tokoh masyarakat termasuk dalam komisi tersebut. “Dokumen Amdal harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat. Warga berhak memantau Amdal. Perusahaan jangan tertutup soal pelaksanaan Amdal,” beber pria jebolan program magister lingkungan di Belanda itu.(*)

Tambang Kalsel Abaikan Dokumen Amdal


Penyebab kerusakan hutan akibat kegiatan perusahaan tambang batu bara yang terjadi di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan kian lengkap. Hampir semua perusahan tambang ternyata melakukan ekploitasi di luar ketentuan perizinan yang sangat menyalahi dari dokumen analisa dampak lingkungan (Amdal).

Kabid Analisisa Pencegahan Dampak Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalsel Asbiani mengatakan hal ini saat sosialisasi undang-undang lingkungan yang diikuti karyawan perusahaan perkebunan, pertambangan, karet, dan lainnya.

Menurut Asbiani, banyak perusahaan sawit yang tidak sesuai dengan Amdal dan perizinan lainnya. Dalam perizinan produksinya hanya 30 TBS ton/per jam, namun faktanya kini mencapai 60 TBS ton/jam. Artinya, telah terjadi peningkatan dua kali lipat produksi kelapa sawit. Begitu juga dengan perusahaan pertambangan batu bara dan lainnya.

Ia mencontohkan, di perusahaan pertambangan bahwa sesuai izin eksploitasi batu bara hanya sampai 5 ton per hari ternyata di lapangan mencapai 15 ton per hari. Peningkatan produksi tersebut telah mengubah desain lingkungan dan seharusnya dilakukan peninjauan ulang terhadap Amdalnya.

Tapi hal itu tidak dilakukan oleh beberapa perusahaan perkebunan sawit maupun tambang batu bara dan tambang lainnya. Dikhawatirkan, bila hal tersebut terus dibiarkan, maka akan membuat kondisi lingkungan di Kalsel semakin rusak dan tidak terkendali.

Terhadap perusahaan tersebut di atas, pihaknya akan melakukan audit lingkungan dengan ancaman hukuman yang cukup berat. Sayang, pihak BLHD belum bersedia menyebutkan nama-nama perusahaan yang melakukan pelanggaran tersebut di atas, dengan alasan sedang dalam proses pembinaan.

Ancaman hukuman, kata dia, tidak hanya dikenakan pada perusahaan, tetapi juga pada instansi yang mengeluarkan izin. Pejabat yang memberikan izin terhadap perusahaan yang belum memiliki Amdal juga dikenakan ancaman hukuman selama tiga tahun dan denda hingga Rp3 miliar

"Saat ini ada beberapa perusahaan yang operasionalnya di Kalsel, namun saat ditanya tentang Amdal katanya berada di Jakarta, sehingga sangat menyulitka. Padahal perusahaan di Kalsel jumlahnya ratusan," katanya.

Dari 60 perusahaan tersebut, kata dia, sistem pelaporannya juga tidak terus menerus atau kadang dilaporkan kadang tidak. Hal tersebut membuat pemantauan persoalan lingkungan pada perusahaan tidak bisa maksimal.

UKL/UPL adalah salah satu instrumen pengelolaan lingkungan yang menjadi persyaratan perizinan bagi pemrakarsa yang akan melaksanakan suatu usaha/kegiatan di berbagai sektor. Dokumen UKL-UPL dibuat pada fase perencanaan proyek sebagai kelengkapan dalam memperoleh perizinan untuk proyek-proyek yang dampak lingkungannya dapat diatasi dengan skala pengendaliannya kecil dan tidak kompleks.(*)

Hentikan Ekspansi Kebun Sawit


Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Barat (Kalbar), Blasius Hendi Chandra menegaskan, sebaiknya pemerintah daerah di Kalimantan Barat menghentikan ekspansi perkebunan sawit. Luas lahan perkebunan yang saat ini mencapai hampir 600 ribu hektar dinilai sudah cukup luas.

“Sebaiknya perluasan dihentikan dulu dan lebih difokuskan bagaimana memperbaiki kualitas kebun yang sudah ada. Pemerintah sebaiknya lebih memprioritaskan pembenahan regulasi dan menuntaskan berbagai persoalan yang muncul terkait perkebunan sawit,” katanya di Hotel Kapuas Palace, kemarin.

Sebagai contoh disebutkan, dari hasil studi Walhi di Kabupaten Ketapang beberapa waktu lalu, sedikitnya ada 400 ribu hektar lahan perkebunan sawit yang seluruhnya atau sebagian tumpang tindih dengan kawasan hutan. Belum lagi persoalan sosial yang terjadi misalnya konflik tanah.

Sampai dengan akhir 2008, Walhi mencatat sedikitnya 20 kasus konflik tanah yang mengemuka di kabupaten ini. Selain itu, ada pula perusahaan yang selama beberapa bulan tidak membayar puluhan ribu warga (kasus Benua Indah Group). “Kasus-kasus yang terjadi sangat banyak. Sebaiknya itu dulu dibenahi. Jangan sampai nanti malah menambah persoalan,” ujar dia.

Pemerintah provinsi mencadangkan lahan untuk perkebunan sawit seluas 1,5 juta hektar pada 2025. Kepala Dinas Perkebunan Kalbar, Idwar Hanis sebelumnya mengakui ada perkembangan areal perkebunan sawit di provinsi ini mengalami lompatan yang cukup tinggi. Pada akhir 2008, luas areal perkebunan sawit hanya sekitar 480 ribu hektar. Tetapi pada akhir 2009 sudah melonjak menjadi sekitar 550 ribu hektar.

Menurut Idwar, pemerintah provinsi dalam hal ini hanya bersifat memantau pemanfaatan lahan bagi peruntukan komoditas-komoditas yang diunggulkan. Apabila salah satu kabupaten atau seluruhnya cenderung mengembangkan satu komoditas saja seperti sawit, pemprov akan memberikan peringatan dan pertimbangan teknis.

“Kita hanya ingin 2015 luas sawit hanya 1,5 juta hektar. Jadi, kalau izin yang dikeluarkan kelebihan, kita akan beri warning dan pertimbangan-pertimbangan teknis,” katanya.

Setiap lima tahun, pihaknya akan melakukan review terhadap perluasan perkebunan sawit. Pemprov tak bisa banyak menyampuri kebijakan masing-masing kabupaten. Pemprov hanya bisa memberikan koridor-koridor atau format tentang pengembangan perkebunan di kabupaten, seperti target luas arealnya serta bagaimana kesesuaiannya rencana makro. Selain itu, sudah ada juga perangkat aturan (sisi normatif) yang mesti dipatuhi misalnya tentang ruang-ruang dibolehkan untuk pengembangan perkebunan dan sebagainya.(*)

Perusakan Hutan di Kaltim Dilaporkan ke KPK

Sabtu, 10 April 2010

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur resmi melaporkan kasus perusakan hutan kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kasus yang dilaporkan adalah pembabatan kawasan Hutan Lindung Nunukan oleh Pemkab setempat.

"Laporan ini sebagai upaya kami untuk mendesak pihak-pihak berwenang segera menuntaskan masalah itu, kami juga sebelumnya sudah melaporkan kepada Polda Kaltim untuk memproses Bupati Nunukan dan Bupati Bulungan yang membabat hutan di Pulau Bunyu untuk kegiatan pertambangan batu bara," kata Direktur Ekskutif Walhi Kaltim Isal Wardhana di Samarinda, Sabtu (10/4).

Laporan resmi itu tertanggal 8 April 2010 dengan nomor surat 051/ED-Walhi Kaltim/IV/2010 dengan perihal indikasi pelanggaran penggunaan Hutan Lindung Pulau Nunukan. Sebelumnya, saat mengadakan pertemuan dengan sejumlah LSM di Kaltim, ia juga melaporkan kasus itu langsung kepada Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto yang didampingi Humas KPK, Johan Budi di Balikpapan, Jumat (9/10)Â saat mengadakan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur.

"Kegiatan di hutan lindung untuk eksploitasi batu bara di Pulau Bunyu, Bulungan dan pembabatan hutan dengan alasan pembukaan jalan di Kabupaten Nunukan jelas melanggar Pasal 38 dan Pasal 50 dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan," imbuh dia.

Ia menambahkan bahwa izin pinjam pakai di dalam kawasan hutan lindung harus dilakukan oleh Menteri Kehutanan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, jadi terhadap dua kasus tersebut pihaknya menilai bupati sangat bertanggung jawab sehingga Polda harus mengusutnya. Sesuai UU No. 41 maka pelanggaran atas kedua pasal itu merupakan tindakan pidana dengan ancaman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp5 Miliar sampai Rp 10 Miliar.

Terkait dengan pelanggaran UU itu maka seharusnya aktifitas di dalam kawasan hutan lindung di Bulungan dan Nunukan harus dihentikan sampai adanya kepastian penyidikan dan penyelidikan dari Polda Kaltim serta status hukum jika kasus tersebut sampai ke ranah peradilan. Penambangan batu bara di Pulau Bunyu sebelumnya sudah diketahui Walhi Kalimantan Timur pada 2007 melalui investigasi yang dilakukan dengan dasar pengaduan dari masyarakat Kecamatan Bunyu. Ekosistem Pulau Bunyu saat ini terancam oleh eksploitasi pertambangan batubara oleh tiga perusahaan dengan menggunakan izin Kuasa Penambangan (KP) yang dikeluarkan oleh Bupati Bulungan. Tiga perusahaan tersebut adalah PT. Garda Tujuh Buana seluas 1.995 hektar, PT. Lamindo Inter Multikon seluas 1.000 ha, dan PT. Mitra Niaga Mulya/PT. Adani Global 1.900 ha dengan total keseluruhan izin konsesi sekitar 4.928 ha. (Ant/OL-06)

Puluhan Ribu Hektare Perkebunan Sawit tidak Miliki IPK

Jumat, 02 April 2010

SAMPIT--MI: Lahan seluas 60.000 hektare milik perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah, tidak memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).

"Akibatnya ribuan meter kubik kayu hasil 'land clearing' (perbersihan lahan) terancam membusuk," kata Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah (setda) Kotim, Sanggol Lumban Gaol, di Sampit, Sabtu (3/4).

"Berdasarkan undang-undang No.41 Tahun 2009, setiap pemilik lahan perkebunan yang kawasannya telah dilakukan pelepasan, maka perusahaan yang bersangkutan diwajibkan mengurus dan memiliki IPK," katanya.

Menurut Gaol, bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sekarang sedang melakukan pembukaan lahan dan perbersihan lahan serta belum memiliki IPK, maka dianjurkan segera mengurus IPK tersebut. Saat ini, di Kotim terdapat seluas 60.000 hektare lahan perkebunan yang belum memiliki IPK, padahal lahan tersebut telah dibuka dan dibersihkan. IPK berlaku untuk lokasi pelepasan dan kawasan pinjam pakai.

Lahan tersebut berada di wilayah dua perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berbeda, yakni PT Hati Prima Agro (HPA) seluas 45.000 hektare dan PT Best Agro seluas 15.000 hektare. "Kedua perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut berada di wilayah Kecamatan Parenggean, Kotim. Karena tidak memiliki kemampuan untuk mengelola kayu hasil pembersihan lahan maka pihak perusahaan belum mengurus dan memiliki IPK," katanya.

Upaya untuk mengurus dan memiliki IPK telah dilakukan dan terakhir pihak perusahaan telah menyerahkan sepenuhnya untuk mengurus perijinan tersebut ke pemerintah kabupaten (pemkab) Kotim. Gaol mengungkapkan, sebetulnya kalau memang pihak perusahaan tidak cakap atau memiliki kemampuan dalam mengelola IPK, maka pihak perusahaan yang bersangkutan di perperbolehkan menggandeng rekanan yang mampu mengelola IPK.

"Permasalahan ini telah diserahkan sepenuhnya ke pemkab, untuk itu pemkab Kotim akan membantu perusahaan perkebunan untuk mencarikan rekanan yang mampu mengelola IPK," ungkapnya.

Hingga saat ini, sudah ada satu perusahaan yang telah mengajukan permohonannya untuk memanfaatkan kayu hasil pembersihan lahan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit itu, perusahaan tersebut adalah Usaha Dagang (UD) Karya Budi dengan alamat domisili di Kecamatan Parenggean.

Pemkab Kotim masih belum memberikan rekomendasi, karena perusahaan UD Karya Budi masih belum diteliti oleh pihak kehutanan. Penelitian terhadap perusahaan pemohon tersebut dimaksutkan untuk mengetahui mampu atau tidaknya mengelola IPK. "Kami masih membuka peluang kepada perusahaan yang memiliki kemampuan dalam mengelola IPK untuk mendaftarkan perusahaannya ke Pemkab Kotim. Semakin banyak perusahaan yang mendaftar akan semakin bagus," terangnya. (Ant/OL-06)

9 Izin Pemanfaatan Hutan Dibatalkan

Selasa, 30 Maret 2010

Lantaran bertentangan dengan kebijakan pihaknya, sedikitnya sembulan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang diterbitkan bupati dibatalkan oleh Kementerian Kehutanan. Izin dicabut karena pengusaha mengalihkan hak pengelolaan dan meninggalkan areal yang telah dibebani izin pengelolaan.

"Sebagian besar izin yang dicabut itu karena pengusaha meninggalkan areal konsesi yang telah dibebani izin dan izin yang diterbitkan bupati bertentangan dengan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang," kata Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan (Dirjen BPK) Kementrian Kehutanan, Hadi Daryanto,kemaren.



Pembatalan rekomendasi bupati itu, akan ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) yang akan mencabut izin yang diberikan.

"Rekomendasi yang diberikan bupati sejak 2002, tetapi sampai sekarang bupati kesembilan perusahaan itu belum memperoleh rekomendasi pengelolaan hutan karena arealnya tumpang tindih dengan kawasan hutan yang diterbitkan Kemenhut," imbuhnya.

Menurutnya, izin pengelolaan hutan alam yang dikeluarkan bupati memang diatur dalam peraturan Menhut. Namun bukan berarti izin yang diterbitkan bupati itu bertabrakan dengan izin pengelolaan hutan yang juga diterbitkan Menhut.

Pembatalan itu dilakukan Menhut karena para pengusaha ada juga yang tidak melakukan penanaman setelah 6 bulan izin pengelolaan diberikan secara defenitif. "Enam bulan setelah memperoleh izin, lahannya tidak segera ditanami, maka Menhut berhak mencabut izinnya," ucapnya.

Hadi menambahkan pemerintah harus tegas terhadap perusahaan (HPH) yang tidak mampu menjalankan operasionalnya, apalagi ada indikasi izin yang di keluarkan oleh daerah melanggar aturan pusat. "Intinya, semua harus ikuti undang-undang,” kata Menhut di Jakarta, kemaren.

Saat ini, Kementerian Kehutanan lebih memfokuskan pada pemberian akses kepada masyarakat lewat pengelolaan hutan tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan (HKm), dan hutan desa. “Kalau pengusaha langkahnya panjang, kita upayakan masyarakat sekitar hutan dulu," tegasnya.

Kesembilan perusahaan IUPHHK-HA (HPH) yang diterbitkan bupati dan di batalkan oleh Menteri Kehutanan per Maret 2010 yakni PT Ketapang Mandiri (15.000 hektare/ha) diterbitkan Bupati Ketapang Kalbar, PT Graha Kaltim Sentosa (25.000 ha) di terbitkan Bupati Nunukan Kalimantan Timur.

PT Insan Kapuas (34.000 ha) di terbitkan Bupati Sintang Kalimantan Barat, PT Tunas Harapan (18.200 ha) oleh Bupati Kapuas Kalimantan Tengah, CV Gading Indah (17.000 ha) oleh Bupati Malinau, Kalimantan Timur, PT Elbana Abadi Jaya (8.000 ha) oleh Bupati Banjar Kalimantan Selatan.

CV Ryan Aditia (17.500 ha) oleh Bupati Kapuas Hulu Kalimantan Barat, PT Talangkah Rimba Pambelum (30.000 ha) oleh Bupati Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, dan PT Lintas Ketungau Jaya (50.000 ha) oleh Bupati Sintang Kalimantan Barat.

Gubernur Wajib Lapor Alih Fungsi Hutan


Perhatian pemerintah terhadap masa depan hutan di Indonesia terus ditingkatkan. Guna mengontrol alih fungsi lahan hutan, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) meminta para gubernur dan kepala daerah di seluruh Indonesia terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat.

Salah satunya melalui penyampaian laporan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan nonkehutanan di wilayah masing-masing secara intensif.



Surat Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan kepada gubernur telah disampaikan pada 25 Februari lalu. Dalam surat itu, 26 gubernur diberi waktu dua bulan untuk menginventaris luas kawasan hutan yang sudah digunakan untuk kebun/tambang atau kegiatan lain.

"Terutama wilayah yang tidak mendapat izin pelepasan kawasan dari Kemenhut," ujar Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Darori di Jakarta kemarin (23/3).

Menhut meminta gubernur menginventarisasi data penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan nonkehutanan seperti kebun sawit, tambang, tambak, serta pembangunan sarana-prasarana perumahan. Menhut juga meminta data penerbitan sertifikat serta hak guna usaha (HGU) di kawasan hutan yang ditempuh tanpa izin dari menteri kehutanan.

"Hasil inventarisasi kawasan serta langkah penegakan hukum yang sudah diambil di daerah itu harus disampaikan ke Menhut dengan tembusan kepada ketua KPK, jaksa agung, Kapolri, dan menteri lingkungan hidup," ujarnya.

Ada Bupati Bakal Dijerat Hukum

Kamis, 25 Maret 2010

Alih fungsi hutan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) berbuntut panjang. Kemungkinan besar, akan ada bupati yang diseret ke ranah hukum karena melakukan pelanggaran.

Tim Terpadu dari Kementerian Kehutanan menemukan setidaknya 960 ribu hektar kawasan hutan di Kalteng beralih fungsi tanpa proses yang sah. Di antaranya, telah dikeluarkan izin untuk perusahaan tambang dan perkebunan.

Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Darori kepada wartawan di sela Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Kehutanan dan Rapat Koordinasi (Rakor) Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah Provinsi Kalteng 2010, di Aula Jayang Tingang, Kantor Gubernur Kalteng, Rabu (24/3), mengatakan, baru-baru ini Menteri Kehutanan sudah mengeluarkan surat edaran kepada gubernur untuk menginventarisir permasalahan di daerah masing-masing, di antaranya pertambangan dan perkebunan yang bermasalah.

“Nah, dari hasil inventarisasi ini, kemudian gubernur diundang untuk melakukan presentasi di Kemenhut. Yang menarik, laporan ini nanti ditembuskan ke Kejaksaan Agung, KPK, dan Mabes Polri, dan ini dibahas bersama,” kata Darori.

Berdasarkan kesepakatan bersama untuk penegakan hukum, apabila pendudukan kawasan tanpa memperoleh izin yang sah, hukumannya 10 tahun penjara dengan denda Rp5 miliar, dan kebunnya disita untuk Negara.

Untuk wilayah Kalteng, kata Danori, hampir seluruh bupati terlibat dalam pemberian izin bagi perusahaan perkebunan dan pertambangan yang bermasalah, terlebih di daerah yang banyak terdapat perkebunan dan pertambangannya.

“Kalau terkait dengan pidana umum, maka yang menyidik adalah polisi, dan korupsi ditangani oleh jaksa. Sedangkan, kalau ada izin yang dikeluarkan oleh kepala daerah bermasalah, karena terkait kebijakan, maka yang menyidiknya adalah kewenangan KPK,” beber Danori yang mengaku selama 12 tahun menjadi Kepala Dinas Kehutanan di salah satu kabupaten.

Dijelaskannya, bumi negara ini diatur oleh dua UU. Untuk kawasan hutan diatur UU No. 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan, sedangkan di luar kawasan hutan diatur UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria.

“Jadi, semua yang menggunakan kawasan hutan harus seizin Menteri Kehutanan. Dalam pelaksanaannya, sesuai UU No. 5 Tahun 1990, khususnya untuk kawasan konservasi, taman nasional, dan cagar alam, diawasi oleh Dirjen PHKA bersama balai-balainya, seperti BKSDA dan Balai Taman Nasional,” jelas Danori.

Sementara untuk hutan lindung dan hutan produksi diawasi oleh gubernur dan bupati. Pelaksanaannya diatur dalam tata guna hutan kesepakatan (TGHK), dan yang membuat ini adalah daerah. “Untuk wilayah Kalteng, karena saat itu terlena sampai-sampai Kantor Gubernur saja berada di wilayah kawasan hutan,” ujarnya.

Sejahterakan Rakyat

Seluruh daerah di Indonesia memang membutuhkan dunia investasi agar dapat tumbuh dan berkembang. Namun, jika kepentingan investasi lebih besar dari kepentingan rakyat, justru hanya akan membawa permasalahan yang merugikan banyak pihak, terutama rakyat.

Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang menegaskan, tidak ada daerah di wilayahnya yang menolak investasi. Investasi yang benar-benar dibutuhkan Kalteng bukan hanya demi keuntungan materi, tapi harus membawa azas manfaat bagi semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat dan lingkungan hidup sekitar.

Menurut Teras, investasi ibarat darah dalam tubuh, harus seimbang antara darah merah dan darah putih. Bila tubuh kebanyakan satu jenis darah saja, misalnya darah putih, maka rusak seluruh tubuh. Demikian pula halnya investasi, jika terus berpikir mencari keuntungan materi, maka hancurlah daerah itu.

“Akibatnya, investasi membesar tapi rakyat menderita. Pembukaan kawasan dengan besar-besaran, namun rakyat jadi penonton. Pemberian izin, tetapi tidak ada kemanfaatan bagi daerah dan rakyat yang berada di sekitar wilayah itu. Ini yang tidak pernah dipikirkan oleh kita dengan baik,” kata Teras saat membuka Rakernis Kehutanan dan Rakor Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah Kalteng, kemarin.

Teras mengungkapkan, potensi sumber daya hutan Kalteng sangat melimpah dan menuntut semua pihak mengelola dan memanfaatkannya dengan arif bijaksana, untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan.

Namun kenyataannya, aktivitas illegal logging, kebakaran hutan, deforestasi justru jauh lebih besar dibanding kemampuan merehabilitasi atau reforestasi. Ini ditambah dengan perkembangan di luar sektor kehutanan berupa pembangunan perkebunan dan pertambangan yang terus mengalami pertumbuhan.

Sampai saat ini, terdapat lebih dari 300 izin perkebunan besar swasta (PBS) dengan luas lebih empat juta hektar. Sedangkan izin usaha pertambangan, terdapat lebih dari 600 buah, luas arealnya lebih dari tiga juta hektar dengan tahap perizinan yang bervariasi.

Dalam hal ini, menurut Teras, tidak mencari siapa yang salah, namun harus berpandangan ke depan. Konsep yang dilakukan pemerintah sudah benar, dengan melaksanakan keputusan dalam satu garis yang tidak boleh terpotong mulai tingkat nasional, turun ke tingkat provinsi, tingkat kabupaten, kecamatan, hingga tingkatan paling rendah.

“Pertanyaannya, apakah pemerintah nasional konsisten, pemda konsisten, dan apakah rakyat mampu mengejawantahkan keputusan itu. Kalau terpotong, maka yang menjadi korban adalah pembuat dan pelaksana keputusan, apakah itu kepala daerahnya, kadis atau investor di lapangan. Ini merupakan komitmen yang saya pegang,” kata Teras.

Berkaitan dengan pelaksanaan Rakornis dan Rakorenbanghutda Kalteng, Teras berharap, rapat ini menjadi wahana dan kesempatan melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi kegiatan pembangunan kehutanan.

Kesempatan bertemu Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dan Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan harus dimanfaatkan semua pihak yang memiliki masalah berkaitan kehutanan untuk menyampaikan kendala dan permasalahannya, sehingga ditemukan solusi terbaik.

Seperti masalah pembuatan sertifikat tanah di tengah kota yang dikeluhkan sebagian besar masyarakat saat ini, momen koordinasi dan pertemuan dengan pihak pusat, inilah waktu yang tepat untuk menyampaikannya. “Namun, bukan berarti mencari siapa yang salah, melainkan solusi penyelesaian yang paling penting,” pungkas Teras.

Sementara, Kepala Dinas Kehutanan Kalteng Anung Setiadi memaparkan, Rakornis Kehutanan 2010 yang mengangkat tema “Pemantapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan yang Menjamin Kelestarian, Perlindungan dan Pengamanan Sumber Daya Hutan di Kalteng”, dipandang tepat jika dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapai serta permasalahan dan isu-isu penting dalam pembangunan kehutanan di Kalteng.

“Melalui pertemuan ini, kita berharap ditemukan persamaan persepsi dan tujuan guna membangun kehutanan Kalteng yang lebih baik di masa mendatang, serta momen menemukan seluruh jawaban dari segala persoalan yang kita alami selama ini,” kata Anung.

Hadir dalam kegiatan tersebut, selain Dirjen PHKA Darori, para Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan 14 kabupaten/kota se-Kalteng, jajaran Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), dan segenap rimbawan. (str/ris)

Walhi Desak Pemerintah Tata Ulang Areal Perkebunan Kelapa Sawit

Sabtu, 20 Maret 2010

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah menata ulang alokasi lahan untuk areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat (Kalbar).

Mereka menyinyalir sekitar separuh dari lima juta hektare (ha) lahan yang dialokasikan untuk perkebunan sawit itu berada di kawasan hutan.

"Areal perkebunan kelapa sawit banyak yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Termasuk hutan lindung, taman nasional, dan kawasan konservasi lainnya," kata Direktur Daerah Walhi Kalbar Hendy Chandra di Pontianak, Jumat (19/3).

Ia mengungkapkan, sekitar 1,6 juta dari 2,5 juta hektare (ha) izin alokasi perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih itu sudah beroperasi, sehingga diduga melakukan perambahan. Oleh karena itu, Walhi Kalbar mendesak pemerintah menghentikan aktivitas tersebut dan segera melakukan audit lingkungan.

"Dari hasil audit itu akan ketahuan berapa luas kerusakan dan potensi kerugian negara akibat perambahan tersebut, sehingga mereka (perusahaan) bisa dituntut," ungkapnya.

Hendy mengatakan pembukaan dan perluasan perkebunan kelapa sawit menjadi modus baru dalam praktik perambahan hutan di Kalbar. Praktik itu marak setelah aktivitas pembalakan liar (illegal logging) secara konvensional mulai menurun dalam beberapa tahun terakhir.

"Mereka sebenarnya hanya mengincar kayu karena sebagian izin alokasi perkebunan itu dipegang oleh para makelar lahan," ujarnya.

Data Walhi Kalbar pada 2009 menyinyalir terdapat 340 ribu ha kawasan hutan lindung di provinsi itu telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Luas areal tersebut mencapai 15% dari sekitar 2,3 juta ha luas keseluruhan kawasan hutan lindung di Kalbar.

"Alih fungsi lahan itu kemungkinan besar semakin meluas. Sebab, sekitar 70 persen dari sembilan juta hektare luas kawasan hutan di Kalbar saat ini mengalami kerusakan," kata Hendy. (AR/OL-01)

Ritual, Mayat Pendi Ditemukan di Desa Handiwung


Setelah tiga hari pencarian, Tim SAR akhirnya berhasil menemukan jasad Pendi (18), Jumat (19/3) petang. Korban kecelakaan lalu lintas yang tercebur Sungai Katingan itu ditemukan sudah tak bernyawa di kawasan Desa Handiwung.

Mayat Pendi ditemukan mengapung di tepi sungai sekitar pukul 17.30 WIB. Lokasi penemuan korban cukup jauh, sekitar 30 menit naik speedboat dari Kasongan. Derasnya arus Sungai Katingan membuat tubuh korban terseret cukup jauh hingga beberapa kilometer dari tempat dia terjatuh.

Saat ditemukan, kondisi tubuh luka-luka dan helm masih melekat di kepala. Pada bagian wajah terdapat luka menganga, diduga akibat luka tabrakan. Tubuh korban kemudian dimuat ke dalam kantong mayat dan dibawa ke RSUD Kasongan untuk divisum.

Usai visum, jenazah pemuda asal Desa Tumbang Tungku, Kecamatan Pulau Malan, Kabupaten Katingan ini, dibawa ke rumah pamannya di Kasongan Seberang untuk disemayamkan.

Tragedi ini cukup menyita perhatian warga Kasongan. Bahkan, Bupati Katingan Duwel Rawing datang melihat langsung ke RSUD Kasongan. Bau tak sedap menyeruak dari tubuh korban yang tergeletak di kamar jenazah. Rencananya Sabtu (20/3) hari ini, korban dimakamkan di Desa Tumbang Tungku.

Kapolres Katingan AKBP Drs H A Yudi Suwarso SH MH mengatakan, pihaknya sekarang masih menyelidiki kasus kecelakaan lalu lintas hingga menyebabkan satu orang meninggal dunia. Sat Lantas juga sudah memintai keterangan kedua korban lainnya yang sekarang masih dirawat di RSUD Kasongan, Dede Irawan dan Marco.

Ketika disinggung mengenai pengamanan pagar Jembatan Kasongan, menurut Yudi, pagar jembatan seharusnya ditutup dengan tiang penyangga demi keamanan pengguna jalan. Sedangkan, yang ada sekarang ini, hanya dua pipa sebagai pengaman pagar jembatan.

“Yang namanya jembatan ada jalur putih yang tidak putus-putus di tengah jalan, tujuannya dilarang menyalip. Berhenti pun tidak boleh. Karena, bila berhenti ataupun menyalip kendaraan lain, sangat membahayakan karena lebar jalan sesuai dengan kententuan, yakni hanya bisa dilalui dua kendaraan. Saya mengimbau masyarakat agar tertib berlalu lintas, jangan sembarang menyalip sesuai dengan rambu rambu yang ada,” kata Yudi.

Sebelumnya, pihak keluarga korban melakukan ritual dengan cara minta bantuan seorang pisur dari tokoh masyarakat yang bisa berkomunukasi dengan makhluk gaib untuk mempermudah penemuan tubuh korban.

Upacara ritual dilakukan di tempat korban terjatuh, di atas Jembatan Kasongan, Jumat (19/3) sekitar pukul 11.00 WIB. Berbagai sesajen untuk persembahan kepada makhluk halus disiapkan di atas jembatan, seperti ayam panggang, beras kuning, ketan, dan lain-lain.

Setelah sesajen dinyatakan cukup lengkap, pawang memulai ritual dengan membaca mantra agar roh halus yang ada di alam gaib bisa membantu keberadaan tubuh Pendi.

Sesajen kemudian ditaburkan ke sungai, dan diharapkan tubuh Pendi muncul ke permukaan air sehingga bisa diambil pihak keluarga dengan cara menyelam.

“Saya meminta bantuan kepada para makhluk halus agar ditunjukkan keberadaan Pendi dan di mana pihak keluarga bisa menemukannya sehingga jangan sampai keluarga yang sudah sedih ini menjadi sedih lagi karena tidak menemukan Pendi. Dengan sesajen ini kami sembahkan kepada kalian, tolong tunjukkan di mana tempatnya, jangan dipersulit pihak keluarga dalam mencarinya terimalah sesajen ini,” ucap sang pisur dalam bahasa Dayak Ngaju.

Acara ritual sontak membuat jalur di atas Jembatan Kasongan terlihat padat. Para pengguna jalan yang datang dari arah Palangka Raya maupun dari Sampit berhenti karena penasaran melihat acara ritual.

Imirdianto (60), ayah Pendi, terlihat sedih atas kejadian yang menimpa anaknya. Pendi selama ini tinggal dengan pamannya Sayun di Kasongan, karena menimba ilmu di salah satu SMA Kasongan.

Menurut Imirdianto, selama ini anaknya itu jarang pulang kampung. Sejak kecil sifatnya pendiam dan agak tertutup. Bila ada masalah, selagi dia mampu diselesaikan sendiri. Setiap pulang kampung, Pendi selalu diberi uang saku hanya Rp300 ribu, karena keluarganya juga hidup pas-pasan.

Pendi merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Imirdianto dan Nala. Jika kelak lulus sekolah, Pendi diharapkan bisa menjadi tulang punggung keluarga. Namun, harapan itu pupuslah sudah, karena Pendi dipanggil Yang Maha Kuasa. (c-sus)

KPK Didesak Usut Korupsi Kehutanan

Rabu, 17 Maret 2010

SUARAPUBLIC - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak memprioritaskan penanganan sembilan kasus dugaan korupsi di sektor kehutanan yang pernah dilaporkan ke KPK. Sembilan kasus itu, termasuk dua kasus terjadi di Kabupaten Barito Utara (Barut), Kalimantan Tengah, diharapkan ditangani KPK tahun 2010 ini.

"Total estimasi kerugian sebenarnya masih lebih kecil disbanding sebenarnya. Kerugian sembilan kasus itu mencapai Rp 6,6 triliun,” kata Koordinator Divisi Hukum ICW, Febri Diansyah, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (16/3/2010).

Sebagaimana diketahui, sembilan kasus yang menarik perhatian publik itu di antaranya:

1.Kasus RKT bermasalah yang diberikan oleh Gubernur Riau berinisial RZ pada tahun 2003-2006 dengan estimasi kerugian negara Rp 1,1 triliun.

2.Kasus pemberian izin IUPHHKHT oleh Bupati di 5 kabupaten di Riau terhadap 13 perusahaan dengan estimasi kerugian negara Rp 2,8 triliun. Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu lima bupati di Riau.

3.Kasus alih fungsi hutan di Kabupaten Pelalawan, Riau, dengan estimasi kerugian negara Rp 1,2 triliun. Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu Gubernur Riau RZ, Bupati Kampar BU, mantan Kadinas Kehutanan AR, dan mantan Kadinas Kehutanan ST.

4.Kasus pemberian izin HTI di Kabupaten Siak oleh Bupati SIAK terhadap beberapa perusahaan di Siak. Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu Bupati Siak (kini tersangka).

5.Kasus dugaan keterlibatan mantan menteri kehutanan dalam penyalahgunaan kewenangan untuk mempermudah pemberian izin di Riau, Sumatera Utara, dan daerah lain. Dugaan pihak yang bertanggung jawab yaitu Mantan Menteri Kehutanan.

6.Kasus pemberian izin lokasi 23 perusahaan untuk perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu Bupati Seruyan dengan inisial DA.

7.Kasus PTPN VII, perusahaan menggarap lahan sawit di luar HGU sejak tahun 1982 hingga sekarang di Banyuasin dan Oganhilir. Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu PTPN VII.

8.Kasus PT Antang Gunda Utama yaitu pemberian izin lokasi 30.000 hektar kebun sawit di Barito Utara dengan estimasi kerugian negara Rp. 1 triliun. Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu Bupati Barito Utara, BPN, dan PT. Antang Guna Utama.

9.Kasus PT Austral Byna yaitu penerbitan RKT tahun 2003, 2004, 2005, 2007 oleh Dishutprop Kalteng dan Departemen Kehutanan dengan estimasi kerugian negara Rp 108 ,8 miliar.


Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu Kadishutprop Kalteng tahun 2003 berinisial TP, Kadishut Kab Barito Utara tahun 2003 inisial TA, Bupati Barito Utara inisial AY, Dirut Austral Byna inisial PN, Kadishutprop Kalteng 2004 dan 2005 inisial AB, dan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Dephut tahun 2006 inisial HP.

Jelang Pilgub, Rekomendasi IPPKH Mencuat


SUARAPUBLIC - Rekomendasi pinjam kawasan hutan yang dikeluarkan para bupati dan gubernur di beberapa daerah cenderung meningkat menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Hal tersebut disampaikan Juru Kampanye Hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Deddy Ratih dalam diskusi mengenai prioritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sektor kehutanan 2010 di Cikini, Jakarta, Selasa (16/3/2010).

"Kami mencatat bahwa rekomendasi pinjam kawasan akan sangat mencuat tajam menjelang Pilkada, contohnya di Kalteng, sekarang ada 112 ijin pinjam kawasan," katanya.



Mencuatnya jumlah rekomendasi pinjam kawasan yang dikeluarkan bupati dan gubernur jelang Pilkada tersebut, menurut Deddy mengandung kemungkinan adanya upaya pengakumulasian modal politik jelang Pilkada.

"Mau suksesi, Bupatinya mencalo, untuk mendapatkan dana politik," ujarnya.

Menurut Deddy, setiap perusahaan yang ingin meminjam kawasan hutan harus mendapat rekomendasi dari bupati dan gubernur kawasan yang dituju tersebut.

Hal itulah yang membuka kemungkinan adanya kejahatan kehutanan yang tahun ini menjadi kasus prioritas Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kejahatan kehutanan seperti alih fungsi hutan di NTT, dan di Tanjung Si Api-Api," imbuhnya.

Upacara Adat Dayak Manyanggar

Minggu, 14 Maret 2010

Upacara Adat Dayak Manyanggar. Istilah Manyanggar berasal dari kata "Sangga". Artinya adalah batasan atau rambu-rambu. Upacara Manyanggar Suku Dayak kemudian diartikan sebagai ritual yang dilakukan oleh manusia untuk membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan dengan makhluk gaib yang tidak terlihat secara kasat mata.


Ritual Dayak bernama Manyanggar ini ditradisikan oleh masyarakat Dayak karena mereka percaya bahwa dalam hidup di dunia, selain manusia juga hidup makhluk halus. Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal batas dengan roh halus tersebut diharapkan agar keduanya tidak saling mengganggu alam kehidupan masing-masing serta sebagai ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan makluk lain. Ritual Manyanggar biasanya digelar saat manusia ingin membuka lahan baru untuk pertanian, mendirikan bangunan untuk tempat tinggal atau sebelum dilangsungkannya kegiatan masyarakat dalam skala besar.

Melalui Upacara Ritual Manyanggar, apabila lokasi yang akan digunakan oleh manusia dihuni oleh makhluk halus (gaib) supaya bisa berpindah ke tempat lain secara damai sehingga tidak mengganggu manusia nantinya.

Tiwah


Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja.


Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga - dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa.

Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.

Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang yang masih hidup. Selanjutnya, Tiwah juga berujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi.

Tambang Ancam Kelestarian Hutan Lindung

Rabu, 10 Maret 2010

SUARAPUBLIC – Lebih dari seratus perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di Kalimantan dinilai berpotensi besar mengacam kelestarian hutan lindung setempat. Kerusakan parah diyakini benar-benar terjadi bila izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diajukan perusahaan tambang itu disetujui Menhut.

Walhi Kaltim mengungkapkan, ada 166 perusahaan tambang beroperasi di Kalimantan telah mengajukan IPPKH ke Menhut. Sebagian lahan yang menjadi kawasan pinjam pakai oleh perusahaan pertambangan batu bara itu justru masuk dalam kategori hutan lindung.

“Persoalan deforestrasi kian parah justru bukan dari sektor kehutanan namun sector pertambangan batu bara yang kini telah mengajukan IPPKH. Dapat dipastikan bila pengajuan IPPKH disetujui Menhut, kelestarian akan terganggu,” kata Direktur Walhi Kaltim, Isal Wardhana di Samarinda, Senin (1/3-2010).



Walhi Kaltim mencatat, dari empat provinsi Kalimantan, daerah terbanyak mengajukan IPPKH adalah Kalsel disusul Kaltim, kemudian Kalteng dan terakhir Kalbar. Kasel ada 72 perusahaan batu bara, Kaltim 65 perusahaan, Kalteng 20 perusahaan dan Kalbar delapan perusahaan.

Diakui Isal, sejak tahun 2001, tingkat deforestrasi (pengurangan luas hutan) Kaltim mencapai 350 ribu hektare setiap tahunnya. Akibatnya jelas menimbulkan kerugian bagi masyarakat Kaltim yang masih menggantungkan hidupnya dari hasil bumi di hutan setempat.

“Secara moral dan demi penyelamatan hutan alam kaltim yang tersisa, maka tidak ada argumentasi yang membenarkan ketika Menhut yang baru ini mengamini kawasan hutan untuk aktivitas di luar sektor kehutanan sebagaimana telah diajukan Pemkab/Pemkot dan lebih dari 60 perusahaan pertambangan di Kaltim,” ucap Isal.

Diharapkan pihak Walhi, sementara dalam prosesnya, pemerintah pusat melalui Dephut harus tidak memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutatan walaupun dalam aturan/regulasinya dibenarkan bila sudah ada SK Menhut mengenai IPPKH.

"Permohonan ini harus ditelaah secara mendalam mengingat semakin tingginya tingkat deforestrasi di Kalimantan Timur, bahkan hingga merambah ke kawasan Hutan Lindung Kaltim,” tegas Isal.

Menurutnya, eksploitasi kawasan hutan di Kaltim akan berdampak sangat signifikan terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutan didaerah setempat. Secara langsung itu akan berpengaruh terhadap bencana ekologis yang terjadi di Kaltim.

"Sudah jelas aktivitas pertambangan batu bara secara tidak langsung akan mengurangi kawasan hutan di Kaltim yang sampai saat ini reklamasi dilakukan beberapa perusahaan besar batu bara di Kaltim belum berjalan secara maksimal," katanya.

Lemahnya realisasi program reklamasi itu terbukti dengan ditemukannya beberapa lahan yang belum direklamasi secara maksimal oleh tim dari DPRD Provinsi beberapa waktu yang lewat.

Bupati Seruyan Dilaporkan KE KPK


* PT Austral Byna RKT 2003-2005 dan 2007 Kerugian Negara Rp108,8 miliar
SUARAPUBLIC - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Kehutanan mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (4/1) sore. Mereka membawa sembilan daftar kasus korupsi kehutanan dengan perkiraan kerugian negara mencapai Rp 6,66 triliun.

Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah mengatakan, sembilan daftar itu diserahkan kepada Handoyo selaku Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK.

Sembilan daftar kasus korupsi yang diserahkan itu antara lain pertama, rencana Kegiatan Tahunan (RKT) bermasalah yang diberikan oleh Gubernur Riau, RZ tahun 2003-2006 senilai Rp 1,1 triliun.

Kedua, pemberian Izin IUPHHK oleh lima bupati di Riau terhadap 13 perusahaan yang bermasalah. Ketiga, alih fungsi hutan di Kabupaten pelalawan Riau dengan kerugian negara Rp 1,2 triliun.

Keempat, pemberian izin HTI di Kabupaten Siak oleh Bupati Siak terhadap beberapa perusahaan. Kelima, dugaan keterlibatan Menteri Kehutanan terkait dugaan penyalahgunaankewenangan untuk mempermudah pemberian izin di Riau di sejumlah daerah.

Keenam, pemberian izin lokasi 23 perusahaan untuk perkebunan sawit di Kalimantan Tengah dan delapan perusahaan diduga milik saudara Bupati Seruyan, DA dengan kerugian negara Rp 447 miliar. Orang yang dinilai paling bertanggung jawab adalah Bupati Seruyan.

Ketujuh, PTPN VII karena perusahaan milik negara itu menggarap lahan sawit di luar dari Hak Guna Usaha (HGU) di Banyuasin dan Ogan Komering Ilir.

Kedelapan, PT Antang Gunda Utama (AGU) terkait pemberian izin 30 hektar di Barito Utara yang sebagian berada dalam konsesi HPH Austral Byna. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp1 triliun.

Kesembilan, PT Austral Byna terkait penerbitan RKT 2003-2005 dan tahun 2007 oleh Dishut Provinsi Kalteng dan Departemen Kehutanan dengan prakiraan kerugian negara mencapai Rp108,8 miliar.

Menurut Febri, penangkapan aktor utama dibalik praktek mafia kehutanan juga merupakan peran kongkrit KPK untuk menyelamatkan hutan, ekosistem hutan, dan masyarakat setempat. “Sudah saatnya pendekatan antikorupsi dilakukan untuk memberantas mafia kehutanan,” ujarnya.

Sedangkan anggota koalisi Timer Manurung menyatakan, 7,8 juta hektar hutan Kalteng telah berubah menjadi kebun sawit dan areal tambang. “Di propinsi ini, seluruh Bupati terdata memfasilitasi kerusakan hutan oleh perusahaan jahat dengan menerbitkan ijin usaha perkebunan dan kuasa pertambangan,” kata Timer.

Data Save Our Borneo (SOB) dan Silvagama, lanjut Timer, menunjukkan adanya pelanggaran ijin perkebunan dan pertambangan yang dikeluarkan seluruh Bupati di Kalteng. Koalisi ini mensinyalir kuat bahwa lemahnya penerapan dan penegakan hukum erat kaitannya dengan pungutan liar.

Sementara data Sawit Watch menyebut biaya penerbitan ijin lokasi untuk setiap hektar Rp500 juta. Bahkan ditemukan untuk menerbitkan ijin lokasi seluas seribu hektar mengeluakan biaya Rp3 miliar.

“Kami mengharapkan KPK membentuk satu satuan tugas khusus yang fokus menyidik kasus perusakan hutan dan menindak lanjuti sembilan kasus besar dengan estimasi kerugian negara sampai Rp6,66 triliun,” tegasnya.(*)

RTRWP Kalteng - Prestasi Besar Kalteng Jika Sesuai Usulan 44:56

Minggu, 07 Maret 2010

PALANGKA RAYA,
Isyarat yang ditegaskan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan untuk menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng dalam waktu secepatnya diharapkan prosentasenya sesuai dengan usul Pemprov Kalteng yakni 44:56.

Anggota DPR RI asal Kalteng Hang Ali Saputra Syah Pahan kepada wartawan, Sabtu (6/3) mengatakan, apabila angkanya 44:56 sesuai usulan, itu merupakan prestasi besar Kalteng. Terpenting, asalkan bukan 18:82 seperti usulan Tim Terpadu.

Hang Ali menyambut baik kerja keras Pemprov Kalteng dalam percepatan penyelesaian rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng. “Seandainya pun bukan 44:56, kita harapkan Menhut akan memenuhi 33:67 sesuai Perda 8 tahun 2003,” katanya.

Politisi PAN ini menjelaskan, berdasarkan kajian Tim Terpadu beberapa waktu lalu, luas hutan di Kalteng 82 persen dan kawasan nonhutan 18 persen. “Artinya, kita sekarang ini berada di hutan produksi,” katanya

Akan tetapi, Pemprov Kalteng telah mengusulkan revisi luasan hutan ini menjadi 56 persen dan nonhutan 44 persen. Sedangkan menurut Perda No 8 tahun 2003, luasan hutan 67 persen, nonhutan 33 persen.

Setelah direvisi, kawasan hutan berkurang, nonhutan bertambah sekitar 11 persen. Hasil revisi ini masih dapat diterima masyarakat Kalteng. “Asalkan angkanya tidak dalam posisi 18:82 atau berdasarkan usulan Tim Terpadu,” kata Hang Ali.

Kalau Kalteng menerima hasil tetap berdasarkan kajian Tim Terpadu, artinya sejak dulu Kalteng sudah memiliki tata ruang yang jelas. “Karenanya, mengikuti angka 18-82 akan berakibat fatal, sebab kantor gubernur ini pun masuk kawasan hutan produksi,” jelasnya.

Selain itu, semua perizinan yang dikeluarkan oleh kabupaten-kabupaten dan kota terkait dengan perkebunan akan banyak menimbulkan masalah hukum di masa datang.

Sebelumnya, dalam pemberitaan harian ini, Jumat (5/3), kepastian percepatan keputusan tentang RTRWP Kalteng tengah di ambang pintu setelah Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang bertemu dengan Menhut, antara lain membicarakan masalah rekomendasi atas permohonan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan (IPPKH) dan Ijin Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan (IPKH).

Mengenai RTRWP, sebagaimana diketahui telah masuk dalam program kerja 100 SBY. Masalah RTRWP Kalteng ini telah dilaporkan Gubernur Kalteng kepada Presiden SBY pada pertemuan Gubernur se-Indonesia (Rakernas APPSI) di Palangka Raya, Desember 2009, dan disampaikan kembali oleh Gubernur pada Rakor di Cipanas, 3-4 Februari 2010.

Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemrov Kalteng Kardinal Tarung, sangat merespon positif hasil pertemuan dengan Menteri Kehutanan itu.

Teras mengharapkan, sesuai dengan konsepakatan awal pemerintah menargetkan akan menuntasan RTRWP Kalteng dalam 100 hari program kerja Kabinet Indonesia Baru II. (rjt)