Ada Bupati Bakal Dijerat Hukum
Kamis, 25 Maret 2010
Alih fungsi hutan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) berbuntut panjang. Kemungkinan besar, akan ada bupati yang diseret ke ranah hukum karena melakukan pelanggaran.
Tim Terpadu dari Kementerian Kehutanan menemukan setidaknya 960 ribu hektar kawasan hutan di Kalteng beralih fungsi tanpa proses yang sah. Di antaranya, telah dikeluarkan izin untuk perusahaan tambang dan perkebunan.
Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Darori kepada wartawan di sela Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Kehutanan dan Rapat Koordinasi (Rakor) Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah Provinsi Kalteng 2010, di Aula Jayang Tingang, Kantor Gubernur Kalteng, Rabu (24/3), mengatakan, baru-baru ini Menteri Kehutanan sudah mengeluarkan surat edaran kepada gubernur untuk menginventarisir permasalahan di daerah masing-masing, di antaranya pertambangan dan perkebunan yang bermasalah.
“Nah, dari hasil inventarisasi ini, kemudian gubernur diundang untuk melakukan presentasi di Kemenhut. Yang menarik, laporan ini nanti ditembuskan ke Kejaksaan Agung, KPK, dan Mabes Polri, dan ini dibahas bersama,” kata Darori.
Berdasarkan kesepakatan bersama untuk penegakan hukum, apabila pendudukan kawasan tanpa memperoleh izin yang sah, hukumannya 10 tahun penjara dengan denda Rp5 miliar, dan kebunnya disita untuk Negara.
Untuk wilayah Kalteng, kata Danori, hampir seluruh bupati terlibat dalam pemberian izin bagi perusahaan perkebunan dan pertambangan yang bermasalah, terlebih di daerah yang banyak terdapat perkebunan dan pertambangannya.
“Kalau terkait dengan pidana umum, maka yang menyidik adalah polisi, dan korupsi ditangani oleh jaksa. Sedangkan, kalau ada izin yang dikeluarkan oleh kepala daerah bermasalah, karena terkait kebijakan, maka yang menyidiknya adalah kewenangan KPK,” beber Danori yang mengaku selama 12 tahun menjadi Kepala Dinas Kehutanan di salah satu kabupaten.
Dijelaskannya, bumi negara ini diatur oleh dua UU. Untuk kawasan hutan diatur UU No. 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan, sedangkan di luar kawasan hutan diatur UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria.
“Jadi, semua yang menggunakan kawasan hutan harus seizin Menteri Kehutanan. Dalam pelaksanaannya, sesuai UU No. 5 Tahun 1990, khususnya untuk kawasan konservasi, taman nasional, dan cagar alam, diawasi oleh Dirjen PHKA bersama balai-balainya, seperti BKSDA dan Balai Taman Nasional,” jelas Danori.
Sementara untuk hutan lindung dan hutan produksi diawasi oleh gubernur dan bupati. Pelaksanaannya diatur dalam tata guna hutan kesepakatan (TGHK), dan yang membuat ini adalah daerah. “Untuk wilayah Kalteng, karena saat itu terlena sampai-sampai Kantor Gubernur saja berada di wilayah kawasan hutan,” ujarnya.
Sejahterakan Rakyat
Seluruh daerah di Indonesia memang membutuhkan dunia investasi agar dapat tumbuh dan berkembang. Namun, jika kepentingan investasi lebih besar dari kepentingan rakyat, justru hanya akan membawa permasalahan yang merugikan banyak pihak, terutama rakyat.
Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang menegaskan, tidak ada daerah di wilayahnya yang menolak investasi. Investasi yang benar-benar dibutuhkan Kalteng bukan hanya demi keuntungan materi, tapi harus membawa azas manfaat bagi semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat dan lingkungan hidup sekitar.
Menurut Teras, investasi ibarat darah dalam tubuh, harus seimbang antara darah merah dan darah putih. Bila tubuh kebanyakan satu jenis darah saja, misalnya darah putih, maka rusak seluruh tubuh. Demikian pula halnya investasi, jika terus berpikir mencari keuntungan materi, maka hancurlah daerah itu.
“Akibatnya, investasi membesar tapi rakyat menderita. Pembukaan kawasan dengan besar-besaran, namun rakyat jadi penonton. Pemberian izin, tetapi tidak ada kemanfaatan bagi daerah dan rakyat yang berada di sekitar wilayah itu. Ini yang tidak pernah dipikirkan oleh kita dengan baik,” kata Teras saat membuka Rakernis Kehutanan dan Rakor Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah Kalteng, kemarin.
Teras mengungkapkan, potensi sumber daya hutan Kalteng sangat melimpah dan menuntut semua pihak mengelola dan memanfaatkannya dengan arif bijaksana, untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Namun kenyataannya, aktivitas illegal logging, kebakaran hutan, deforestasi justru jauh lebih besar dibanding kemampuan merehabilitasi atau reforestasi. Ini ditambah dengan perkembangan di luar sektor kehutanan berupa pembangunan perkebunan dan pertambangan yang terus mengalami pertumbuhan.
Sampai saat ini, terdapat lebih dari 300 izin perkebunan besar swasta (PBS) dengan luas lebih empat juta hektar. Sedangkan izin usaha pertambangan, terdapat lebih dari 600 buah, luas arealnya lebih dari tiga juta hektar dengan tahap perizinan yang bervariasi.
Dalam hal ini, menurut Teras, tidak mencari siapa yang salah, namun harus berpandangan ke depan. Konsep yang dilakukan pemerintah sudah benar, dengan melaksanakan keputusan dalam satu garis yang tidak boleh terpotong mulai tingkat nasional, turun ke tingkat provinsi, tingkat kabupaten, kecamatan, hingga tingkatan paling rendah.
“Pertanyaannya, apakah pemerintah nasional konsisten, pemda konsisten, dan apakah rakyat mampu mengejawantahkan keputusan itu. Kalau terpotong, maka yang menjadi korban adalah pembuat dan pelaksana keputusan, apakah itu kepala daerahnya, kadis atau investor di lapangan. Ini merupakan komitmen yang saya pegang,” kata Teras.
Berkaitan dengan pelaksanaan Rakornis dan Rakorenbanghutda Kalteng, Teras berharap, rapat ini menjadi wahana dan kesempatan melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi kegiatan pembangunan kehutanan.
Kesempatan bertemu Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dan Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan harus dimanfaatkan semua pihak yang memiliki masalah berkaitan kehutanan untuk menyampaikan kendala dan permasalahannya, sehingga ditemukan solusi terbaik.
Seperti masalah pembuatan sertifikat tanah di tengah kota yang dikeluhkan sebagian besar masyarakat saat ini, momen koordinasi dan pertemuan dengan pihak pusat, inilah waktu yang tepat untuk menyampaikannya. “Namun, bukan berarti mencari siapa yang salah, melainkan solusi penyelesaian yang paling penting,” pungkas Teras.
Sementara, Kepala Dinas Kehutanan Kalteng Anung Setiadi memaparkan, Rakornis Kehutanan 2010 yang mengangkat tema “Pemantapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan yang Menjamin Kelestarian, Perlindungan dan Pengamanan Sumber Daya Hutan di Kalteng”, dipandang tepat jika dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapai serta permasalahan dan isu-isu penting dalam pembangunan kehutanan di Kalteng.
“Melalui pertemuan ini, kita berharap ditemukan persamaan persepsi dan tujuan guna membangun kehutanan Kalteng yang lebih baik di masa mendatang, serta momen menemukan seluruh jawaban dari segala persoalan yang kita alami selama ini,” kata Anung.
Hadir dalam kegiatan tersebut, selain Dirjen PHKA Darori, para Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan 14 kabupaten/kota se-Kalteng, jajaran Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), dan segenap rimbawan. (str/ris)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar