Blogger Template by Blogcrowds.

Ditolak, Kebun Sawit Dikategorikan Hutan

Senin, 01 Maret 2010


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menolak kebun sawit ditetapkan masuk dalam kategori definisi hutan, seperti tercantum di materi Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Menteri Kehutanan. Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA Idham Arsyad mengatakan, dengan materi seperti itu menunjukkan tidak adanya perubahan paradigma pengelolaan kehutanan di Indonesia.

"Hutan masih saja diprioritaskan kepada investor skala besar ketimbang diperuntukkan kepada rakyat untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan bagi peningkatan kesejahteraan mereka," ujar Idham Arsyad dalam keterangan persnya kepada JPNN, Kamis (25/2).

Dijelaskan Idham, dalam RPM tersebut, Kemenhut menyiapkan izin membuka perkebunan kelapa sawit di areal hutan yang akan berlaku untuk izin investasi baru. Pola izin yang akan dipakai sama dengan pola Hutan Tanaman Industri (HTI). Rencananya, RPM ini akan mengatur komposisi HTI Sawit tersebut dalam system zonasi yaitu 70% tanaman pokok, 25% tanaman kehidupan, dan 5% tanaman pangan.

Menurut Idham, pengelolaan hutan di era sekarang belum ada bedanya dengan rezim Orde Baru. Pada masa awal Orde Baru, lanjutnya, hutan alam diperuntukkan pada investor kehutanan untuk menebang kayu-kayu alam melalui izin HPH. "Saat ini, sedikitnya terdapat 267 Unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Setelah hutan alam semakin menipis dan habis dibabat, areal eks HPH diperuntukkan bagi investor skala besar dengan skema HTI (Hutan Tanaman Industri)," ungkapnya.

Dia membeberkan data, sampai dengan tahun 2007 pembangunan HTI di Indonesia telah mencapai 254 unit usaha dengan luas 3,57 juta hektar. Selain itu, tahun 2004 kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan seluas 4,682 juta hektar kepada 503 unit usaha yang hampir seluruhnya dipergunakan sebagai areal perkebunan sawit (Badan Planologi Kehutanan: 2004). Dari skema zonasi yang ditawarkan RPM sangat jelas bahwa pola pembangunan hutan semacam ini hanya bertujuan mendudukkan rakyat banyak sebagai tenaga kerja murah semata.

Lebih lanjut dijelaskan, selama ini, UU Kehutanan telah secara sepihak menetapkan sebuah wilayah sebagai tkawasan hutan secara sepihak. Sehingga, banyak terdapat konflik masyarakat dengan kementerian kehutanan. Dengan RPM ini, lanjutnya, akan semakin menutup akses rakyat secara bermartabat di wilayah yang selama ini ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Kemenhut dan akan ditawarkan kepada investor sawit.

Idham mengatakan, hilangnya akses rakyat kepada hutan selama ini telah menjadikan kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan menjadi kantong pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebab, banyak kawasan tersebut sejatinya adalah kawasan yang dimiliki dan dikelola secara arif oleh petani, masyarakat adat secara turun temurun. Penetapan tersebut telah menyebabkan petani dan masyarakat kehilangan hak atas wilayah kelola mereka dan penawaran wilayah-wilayah ini kepada investor telah meminggirkan hak ekonomi, sosial budaya mereka secara sistematis.

"Dengan diterbitkan RPM ini akan semakin menungkatkan konflik agraria di kawasan kehutanan," tegasnya. Tahun 2009 lalu, KPA telah merekam 89 laporan kasus konflik agraria baru yang berada di kawasan kehutanan dan perkebunan dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini tidak kurang dari 7.585 KK.

Menurut KPA, RPM ini akan semakin mempercepat laju kerusakan hutan. Menetapkan sawit sebagai tanaman hutan memang akan menolong kementerian kehutanan. Setidaknya, perdefinisi, kawasan hutan masih tetap dan tidak dikonversi menjadi areal kehutanan. Namun, lanjutnya, akan mendorong kenyataan menyedihkan bahwa kawasan yang disebut sebagai kawasan hutan tidak lain adalah perkebunan sawit. "Ini tidak lain adalah perilaku menipu diri sendiri atas fakta perubahan landscape kehutanan yang selama ini terus terjadi. Dan, perubahan tersebut telah menyebabkan kerusakan alam yang mengancam ekosistem secara keseluruhan yang merugikan rakyat banyak," pungkasnya. (sam/jpnn)

0 komentar:

Posting Komentar