Cara Tepat Mengelola Lingkungan dan Hutan
Kamis, 04 Maret 2010
Oleh: Yapto Soerjosoemarno
Setiap 8 November kita memperingati sebagai hari Tata Ruang. Pada November lalu Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto merayakannya dengan sederhana, yakni bersepeda sehat, menanam pohon, pameran tata ruang, dan pemberian penghargaan kepada media yang dianggap berjasa dalam menyebarkan visi lingkungan. Perayaan ini dimaksudkan agar elemen masyarakat menyadari arti penting sebuah tata ruang yang indah bagi kehidupan.
Namun, meski sudah diperingati berkali-kali, toh tata ruang kita masih jauh dari harapan. Bahkan dalam beberapa kasus masih terkesan tumpang tindih. Hal ini dapat dilihat pada tata ruang tingkat desa dan kecamatan. Tumpang tindih ini semakin menjadi-jadi jika melihat tata ruang pada tingkat kota.
Konsep tata ruang yang sejatinya menjadi panduan dalam menata lingkungan kita ternyata hanya menjadi tumpukan kertas yang tidak memiliki arti penting apa-apa. Akibatnya, lingkungan yang bersih dan sehat sampai sekarang hanya menjadi wacana di tingkat elite yang selalu menerima gaji besar dari uang rakyat sementara itu kerusakan lingkungan sendiri tidak dirasakan oleh para elite tersebut.
Kemerdekaan yang kita raih sudah lebih satu setengah abad ternyata tidak serta merta membawa kita pada tata kehidupan yang lebih baik. Impian banyak orang untuk hidup lebih sehat dan baik ternyata masih jauh dari harapan. Dengan demikian masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan saat ini dan masa mendatang.
Pertanyaan besarnya, mengapa tata ruang kita semakin hari tambah tidak jelas? Bagaimana kita membenahinya?
Serakah
Salah satu jawaban pertanyaan di atas, dilontarkan oleh seorang tokoh masyarakat , yakni Yapto Soerjosoemarno. Yapto merupakan satu dari sekian banyak warga negara yang punya kepedulian pada persoalan lingkungan. Kebiasaannya berburu di hutan dan laut di luar negeri membuatnya sangat mengerti apa dan bagaimana lingkungan yang baik.
Menurut Yapto, untuk menilai apakah telah terjadi kerusakan lingkungan atau tidak, apakah terjadi penebangan hutan atau tidak, standarnya cukup sederhana. “Kita bisa melihat hewan-hewan di dalamnya apakah masih bisa bertahan atau tidak. Kalau hengkang berarti sudah terjadi pengrusakan lingkungan sebagai akibat penebangan pohon yang tidak mengenal ampun,” ujarnya.
Yapto menilai beberapa spesies hewan di hutan kita belakangan ini semakin berkurang jumlahnya. Mereka hengkang mencari perlindungan baru. Kondisi ini seperti ini mudah dimengerti mengingat penebangan hutan selalu terjadi di mana-mana dan terjadi setiap saat. Di sebagian wilayah Indonesia terjadi illegal logging. Akibatnya, binatang-binatang liar yang terdapat di dalamnya kabur mencari tempat perlindungan baru, banjir di mana-mana, alam Indonesia tidak indah lagi, dan seterusnya.
Kerusakan lingkungan semakin menjadi-jadi jika melihat tidak ada-nya lagi hutan kota baik tingkat kecamatan maupun pedesaan. “Hutan-hutan kota yang dulunya menjadi ciri khas negeri ini sebagai warisan Belanda kini sudah berganti menjadi perumahan dan perkantoran. Bahkan belakangan mulai ditata lagi menjadi taman kota,” ujarnya.
Menurut Yapto, kerusakan seperti ini terjadi karena kesalahan dalam pengelolaan hutan. Selama ini kita selalu menggunakan timber management (perkebunan kayu) bukanlah resources management.
Timber management tidak lain bercirikan timber extraction (penambangan kayu). Pengelolaan seperti ini meniscayakan penebangan hutan tanpa tebang pilih dan tidak ada penanaman. Karena itu, sangatlah logis kalau kondisi kehutanan kita harus terpuruk yang akhirnya membawa dampak pada lingkungan. Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir selama satu dasawarsa, bahkan sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.
Akibat yang lebih fatal, kata Yapto Soerjosoemarno, keberlanjutan peran dan kontribusi sektor kehutanan dalam proses pembangunan nasional selama hampir 5 tahun mulai dipertanyakan. “Tidak sedikit yang mulai meragukan peran serta sektor kehutanan dalam pembangunan nasional sekarang ini,” ujar Yapto.
Hutan pernah menjadi primadona pada era 1970-an. Hutan ketika itu tidak dipandang sebagai sebuah komoditas yang memiliki multi fungsi meliputi perdagangan karbon, keanekaragaman hayati, ekowisata, dan sumberdaya air. Namun sekarang hutan sudah akan berubah menjadi kenangan akibat penebangan secara besar-besaran untuk kepentingan jangka pendek, yakni sebagai perolehan devisa belaka..
Karena itu, menurut Yapto, untuk mengembalikan kembali fungsinya hutan harus dikembalikan ke habitatnya. Hutan harus ditumbuhkan kembali seperti semula seraya mengelola hutan dengan baik.
“Kita harus membuang pengelolaan hutan dari timber management yang bercirikan penambangan kayu (timber extraction) dan kemudian menggantinya dengan pengelolaan hutan yang didasarkan pada resources management yang mengedepankan sumberdaya hutan partisipatif terintegrasi dan berbasiskan masyarakat,” ujar Yapto.
Paradigma resources management memungkinkan seluruh aparatur kehutanan mempunyai bekal yang lebih lengkap dalam pengelolaan hutan, tidak sekadar memiliki kemampuan teknis dalam pengelolaan hutan tetapi juga memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar hutan secara partisipatif yang mengedepankan kebersamaan. “Kalau konsep seperti ini yang dipakai maka lambat laun hutan kita akan kembali seperti semula,” ujar mantan Ketua Umum Pemuda Pancasila dan sekarang Ketua Umum Partai Patriot.
Pada tahun 1999, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang mengatur kewenangan daerah. UU ini yang mengatur bagaimana hutan dikelola secara baik oleh pemerintah daerah. Menurut Yapto, UU ini memiliki nilai positif dan strategis karena melibatkan pemerintah daerah dalam pengelola dan memelihara hutan dan lingkungan.
Namun, meski sudah berjalan beberapa tahun, implementasi dari UU tersebut terwujud secara nyata dalam pemeliharaan dan pengelolaan hutan. Hutan masih tidak tumbuh sesuai dengan harapan bahkan terkesan mundur.
Yapto berharap dalam pengelolaan hutan untuk menggunakan konsep yang tepat. Dengan penggunaan konsep yang tepat tersebut, baik terhadap pemerintah maupun masyarakat memperlakukan hutan bukan sekadar kayu (log) tetapi juga sebagai sarana untuk perdagangan karbon, ekowisata, sumberdaya air, dan lainnya. “Saatnya hutan diarahkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan serta memperoleh kehidupan yang lebih baik,” ujar Yapto. (Yanto Bashri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar